KEUANGAN
BPJS Kesehatan, Tunggakan Peserta Mandiri Capai Rp32 Miliar
KENDARI, bursabisnis.id – Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kendari, Hendra mengatakan, publik perlu mengetahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kondisi keuangan BPJS devisit adalah masih minimnya semangat gotong royong dari para peserta, khususnya peserta mandiri.
Hendra menyebutkan, khusus untuk di wilayah pelayanan BPJS Kesehatan Kendari, jumlah peserta mandiri yang menunggak mencapai 86,7 ribu. Ini sesuai dengan data per Agustus 2018. Adapun total iuran yang belum diterima dari puluhan ribu peserta tersebut yakni Rp 32 miliar.
Hendra menambahkan, puluhan miliar anggaran yang seharusnya diterima pihak BPJS Kesehatan, dari puluhan ribu peseta itu terdiri dari kelas 1 sebanyak 9 ribuan jiwa atau Rp 8,5 miliar. Kemudian, 16.500 peserta dari kelas 2,
“Sedangkan untuk kelas 3 ada 60 ribu peserta, dengan total iuran Rp 14,9 miliar,” ujar Hendra kepada awak media saat menggelar media gathering, Selasa 24 September 2018.
Menurut dia, kondisi tersebut menggambarkan minimnya semangat gotong royong peserta JKN di Sultra. Akibatnya, hal tersebut berdampak pada pembayaran klaim dari mitra yakni fasilitas kesehatan (Faskes).
“Pada dasarnya, konsep JKN ini kan gotong royong. Tapi, dengan masih banyaknya peserta yang sudah terdaftar tapi menunggak iurannya. Ini kan menunjukan masih minimnya semangat gotong royong di daerah kita ini,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, banyaknya tunggakan klaim pelayanan terhadap sejumlah fasilitas kesehatan (Faskes) akibat devisitnya anggaran, kini dalam proses pemulihan dari pemerintah pusat, dimana Kementerian Keuangan berjanji akan memberikan bailout Rp 4,9 miliar, sebagai langkah pemerintah mengurangi beban BPJS Kesehatan.
Laporan: Ikas
KEUANGAN
Langkah Tepat Utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tidak Dibebankan ke APBN
JAKARTA, Bursabisnis. Id – Keputusan pemerintah untuk tidak membebankan pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan langkah yang tepat.
Hal ini dikatakan anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati di laman dpr.go.id.
“Tidak tepat jika APBN yang harus menanggung. Kondisi itu justru memperberat keuangan negara yang saat ini sudah dalam keadaan terbatas,” ujarnya.
Legislator Fraksi PKS itu juga menyampaikan dukungannya terhadap sikap tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menolak pembayaran utang proyek KCJB dibebankan pada APBN.
Ia menilai sejak awal proyek tersebut memang sudah bermasalah dari sisi perencanaan.
“Permasalahan proyek infrastruktur KCJB muncul sejak awal, seperti tidak masuknya proyek ini dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2030. Bahkan, Menhub saat itu tidak menyetujui proyek Whoosh dengan alasan bakal sulit dibayar,” paparnya.
Berdasarkan informasi yang beredar, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), anak usaha PT KAI yang juga pemegang saham terbesar PT KCIC, mencatatkan kerugian hingga Rp4,195 triliun pada 2024, dan kembali merugi Rp1,625 triliun pada semester I-2025.
“Menurut data BPS, Kereta Cepat hanya ramai saat musim liburan saja, padahal biaya investasi dan operasionalnya sangat tinggi,” ungkapnya.
Anis menegaskan, situasi ini harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah agar setiap kebijakan publik benar-benar ditimbang secara matang antara manfaat dan risikonya.
“BUMN yang awalnya sehat kini harus menanggung beban utang Rp2 triliun per tahun akibat proyek penugasan presiden terdahulu. Padahal para pembantunya sudah memberikan peringatan sejak awal,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya pengelolaan keuangan negara yang lebih berhati-hati, terlebih setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, yang mengatur bahwa dividen BUMN disetorkan ke Danantara, bukan langsung ke APBN.
“Karena itu, Danantara harus mampu mengelola dan mencarikan solusi yang tidak membebani APBN lagi,” kata Anis.
Sumber : dpr.go.id
Laporan : Icha
Editor : Tam
KEUANGAN
Uang yang Beredar Bulan September 2025 Lebih Tinggi
JAKARTA, Bursabisnis. Id – Bank Indonesia (BI) merilis data bahwa likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2025 tumbuh lebih tinggi.
Pertumbuhan M2 pada September 2025 sebesar 8,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Agustus 2025 sebesar 7,6% (yoy) sehingga tercatat Rp9.771,3 triliun.
Demikian rilis Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso di laman bi. go.id.
Menurutnya, oerkembangan tersebut didorong oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 10,7% (yoy) dan uang kuasi sebesar 6,2% (yoy).
Perkembangan M2[1] pada September 2025 dipengaruhi oleh aktiva luar negeri bersih, penyaluran kredit, dan tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus). Aktiva luar negeri bersih pada September 2025 tumbuh sebesar 12,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 10,7% (yoy) sehingga tercatat sebesar Rp2.085,3 triliun.
Penyaluran kredit pada September 2025 tumbuh 7,2% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit pada bulan sebelumnya sebesar 7,0% (yoy).[2] Selain itu, tagihan bersih kepada Pempus tumbuh sebesar 6,5% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada Agustus 2025 sebesar 5,0% (yoy).
Sumber : bi. go. id
Laporan : Tam
KEUANGAN
Sembilan Penyebab Dana Pemda Mengendap di Perbankan
JAKARTA, Bursabisnis.id – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengungkapkan penyebab tingginya dana simpanan Pemerintah Daerah (Pemda) mengendap di perbankan.
Menurut Mendagri Tito Karnavian, ada 9 faktor penyebab simpanan Pemda mengendap, yaitu :
1. Kebijakan efisiensi dan penyesuaian APBD 2025 sesuai Inpres Nomor 1 Tahun 2025 dan Surat Edaran (SE) Mendagri 900/833/SJ (23 Februari 2025), yang membuat sejumlah daerah menunda pelaksanaan APBD untuk menyesuaikan pendapatan dan belanja.
2. Penyesuaian visi, misi, dan program kepala daerah baru pasca-pelantikan 20 Februari 2025, sebagaimana diatur dalam SE Mendagri 900/640/SJ (11 Februari 2025).
3. Kendala administratif dalam proses pelaksanaan belanja barang dan jasa, belanja modal, bantuan sosial, dan subsidi.
4. Peralihan sistem katalog elektronik dari versi 5 ke versi 6 yang menimbulkan kendala teknis seperti bug, error, serta kurangnya pemahaman SDM Pemda dalam penggunaannya.
5. Pelaksanaan proyek fisik seperti pembangunan gedung, jalan, dan jaringan irigasi yang umumnya baru dimulai pada kuartal II–III, sehingga pembayaran termin baru dilakukan di akhir tahun.
6. Kecenderungan realisasi belanja menumpuk di akhir tahun, akibat pengajuan pembayaran oleh pihak ketiga yang dilakukan menjelang tutup buku anggaran.
7. Keterlambatan Kementerian/Lembaga pengampu dalam menetapkan petunjuk teknis atau petunjuk operasional Dana Alokasi Khusus (DAK).
8. Proses pengadaan tanah dan sertifikasi yang dilakukan bersamaan dengan proyek fisik namun belum rampung hingga kini.
9. Penundaan pembayaran iuran BPJS yang memerlukan waktu untuk proses rekonsiliasi dengan BPJS Kesehatan.
Laporan : Tam
-
ENTERTAINMENT6 years agoInul Vista Tawarkan Promo Karaoke Hemat Bagi Pelajar dan Mahasiswa
-
Rupa-rupa6 years agoDihadiri 4000 Peserta, Esku UHO dan Inklusi Keuangan OJK Sukses Digelar
-
PASAR6 years agoJelang HPS 2019, TPID: Harga Kebutuhan Pokok Relatif Stabil
-
Entrepreneur6 years agoRumah Kreatif Hj Nirna Sediakan Oleh-oleh Khas Sultra
-
Fokus6 years agoTenaga Pendamping BPNT Dinilai Tidak Transparan, Penerima Manfaat Bingung Saldo Nol Rupiah
-
FINANCE6 years agoOJK Sultra Imbau Entrepreneur Muda Identifikasi Pinjol Ilegal Melalui 2L
-
Fokus6 months agoUsai Harumkan Nama Wakatobi, Pelatih Atlit Peraih Medali Emas Jual Hp Untuk Ongkos Pulang
-
PERTAMBANGAN3 months ago25 Perusahaan Tambang di Sultra Dihentikan Sementara Operasinya
