Connect with us

opini

Merdeka Petani

Published

on

Petani di Lantari Jaya Bombana. -foto:ist-

SUATU waktu saya bertemu perwakilan kelompok tani di Lombakasih, Lantari Jaya. Pertemuan itu terjadi di tengah sawah, di sebuah rumah sawah. Asyik sekali.

Yang pertama diungkapkan kelompok tani ini yaitu istilah ‘petani adalah jantung Indonesia’. Sebuah perumpamaan yang menarik perhatian saya.

Selanjutnya semua celoteh-celoteh mereka saya simak secara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Hasilnya baru saya tulis tepat di Hari Kenerdekaan ini.

Istilah Petani Jantung Indonesia cukup menggugah. Karena, menurut mereka, petani menyediakan pangan bagi rakyat Indonesia. Pangan diolah menjadi makanan sehari-hari masyarakat. Begitu mereka berceloteh.

Jika tidak ada petani siapa bisa garap sawah? Siapa bercocok tanam? Siapa berkebun? Dan makan apa warga Indonesia? Benar juga apa kata petani itu.

Dia pun berkeluh kesah dengan kondisi petani yang sama di seluruh Indonesia. Pupuk mahal, pestisida mahal, solar untuk mesin alat pertanian dibatasi. Jika ada subsidi, oknum di sana menjualnya, akhirnya menjadi harga non subsidi.

Di Bombana, bantuan alat pertanian, yang katanya gratis, rupanya harus ditebus nyaris sama dengan harga alatnya, hand traktor misalnya. Nasib petani makin buram oleh permainan tengkulak, pengijon, dan pemodal.

Yang bikin tambah sedih, di saat panen harga langsung anjlok. Petani tak habis pikir. Di saat stok berkurang, harga mahal, namun saat panen harga di petani jadi murah. Memang berlaku hukum pasar, hukun supply and demand. Tapi seperti ada yang kendalikan.

Di Bombana, semua jenis bantuan pertanian diatur dinas terkait. Di strukturnya, ada bidang-bidangnya. Dari informasi dari pihak lain, hampir semua bantuan bernuansa subjektif politik. Bantuan diberikan kepada warga tertentu. Hanya itu-itu yang terus menerus dapat bantuan.

Setelah ditelusuri, penerima bantuan adalah pendukung pemenang Pilkada 2017. Ini juga terjadi saat sekarang. Kini sang istri yang maju Pilkada 2024, bantuan pun diberikan atas nama sang calon.

Ada pula oknum dinas menjanjikan bantuan asalkan memilih sang calon. Silakan daftar, cukup pakai KTP, dan akan dapat bantuan itu.

Tak hanya di Dinas Pertanian, bantuan yang tidak tepat sasaran itu juga terjadi di Dinas Perikanan. Ada nelayan setiap tahun dapat bantuan dompeng sampai empat unit. Juga ada juragan ikan sampai menerima bantuan juga.

Seorang nelayan yang tercatat sebagai kelompok peneirima bantuan bercerita perahunya rusak di tengah laut. Terombang ambing. Pulangnya minta bantuan namun yang diberikan justru partisan politik.

Cerita-cerita ini menguatkan keluhan petani dan nelayan tertentu di Bombana. Di Poleang juga demikian. Oknum-oknum di banyak OPD sudah bertindak partisan untuk Pilkada 2024. Modus bantuan dipakai untuk lepentingan politik.

Kelompok tani di Lantari Jaya ini hanya berharap pemerintah membantu dan benar-benar memihak pada petani. Bukan di mulut di pidato-pidato saja. Pemerintah hendaknya turun tangan membantu bagaimana produksi mereka meningkat, dengan biaya yang ekonomis.

Petani berharap dengan kekuasaannya, pemerintah bisa menstabilkan harga. Pemihakan kepada petani betul-betul murni tanpa kepentingan politik. Karena kepentingan politik akan berdampak pada petani yang hanya ingin memberi pangan kepada masyarakat.

Kalau ingin menjaga ketahanan pangan bantulah petani, jangan semua bantuan menjadi alat untuk memperkaya oknum.

Yang menarik, mereka minta pemerintah melalui mekanisme G to Petani membeli gabah-gabah mereka, menjadi perhatian saya. Mereka merasa dirugikan oleh pemain besar.

Dia mengungkapkan, di saat panen, harga mereka beli murah. Gabah dibawa keluar, kemudian masuk ke Bombana lagi, menjual dengan harga mahal yang sudah dikemas. Kemasannya atas nama produksi daerah lain.

Jika melewati Kecamatan Lantari Jaya, kita akan melihat berkarung-karung gabah stand by di pinggir jalan. Karung-karung itu nenunggu truk-truk besar membawa keluar dari Bombana.

Memang setiap musim panen beras Bombana mencapai 90 ribu ton. Beras-beras ini keluar untuk diolah daerah lain dan masuk kembali dengan nama label dari luar, yang mahal.

Karena itu, untuk membantu petani pemerintah diminta membeli gabah-gabah petani, agar harga tidak dipermainkan oleh tengkulak. Selanjutnya pemerintah mengolah melalui BUMD dan menjadi beras kemasan, dengan label produksi Bombana. Program hilirisasi menjadi langkah tepat untuk itu.

Harapan agar pemerintah turun tangan membeli produk petani cukup realistis. Selama ini pemain besar sangat lihai memainkan harga, sehingga petani tak berdaya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula oleh permainan harga.

Petani yang istilahnya adalah Jantung Indonesia, memang harus menjadi perhatian ekstra. Ibarat penyakit, jika jantung bermasalah seluruh tubuh akan terganggu.

Indonesia dengan jumlah penduduk 270–an jiwa itu butuh ketahanan pangan yang stabil. Jantung Indonesia jangan sampai terganggu, sehingga merusak seluruhnya.

Di hari kemerdekaan ini, mari jadikan momentum untuk Memedekakan Petani. Agar kita bisa berteriak: Merdeka Petani.

RSUD Tanduale, 17 Agustus 2024
Oleh: Syahrir Lantoni
(BUR Center)

Continue Reading

opini

Call Center Sahabat Perempuan dan Anak 129

Published

on

By

Ilustrasi. Jika anda merasakan atau menemukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, segera hubungi call center 129.

MELALUI Layanan Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA 129) mereka tak sendiri, negara hadir memberi ruang aman bagi para korban untuk bersuara.

Kadang, kekerasan tak selalu datang dengan teriakan. Ia hadir dalam diam. Dalam luka yang tak terlihat, dalam tangis yang tertahan. Di balik pintu rumah, di balik layar gawai, atau bahkan di tengah keramaian, perempuan dan anak-anak bisa menjadi korban tanpa ada yang tahu.

Melalui Layanan Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA 129) mereka tak sendiri, negara hadir memberi ruang aman bagi para korban untuk bersuara. Dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), SAPA 129 adalah saluran pengaduan cepat, aman, dan mudah diakses oleh siapa saja yang mengalami atau mengetahui kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Tiga Cara untuk Bersuara

SAPA 129 memberi pilihan cara yang nyaman untuk setiap orang:

1. Telepon ke 129 – untuk berbicara langsung.
2. WhatsApp ke 08-111-129-129 – bagi mereka yang lebih nyaman mengirim pesan.
3. Form Online – Bisa diisi kapan pun, tanpa perlu berbicara atau bertatap muka.

Ketiga kanal ini menjamin kerahasiaan dan kenyamanan. Karena keberanian untuk melapor harus diiringi dengan rasa aman.

Bukan Hanya Tanggapan, Tapi Juga Tindakan

Begitu laporan diterima, SAPA 129 tidak berhenti pada mendengar. Mereka akan memberikan pendampingan psikologis, memfasilitasi pemeriksaan medis dan visum, mengamankan korban di tempat perlindungan, serta menyediakan dukungan hukum jika dibutuhkan.

Tak hanya itu, SAPA 129 juga menjadi jalur koordinasi nasional bagi kasus yang memerlukan penanganan lintas daerah, provinsi, bahkan internasional.

Setiap laporan akan ditangani secara menyeluruh dan manusiawi. SAPA 129 bukan sekadar call center, tapi jembatan antara korban dan harapan baru.

Siapa Saja Bisa Melapor

Bukan hanya korban yang boleh melapor. Siapa saja, tetangga, teman, guru, atau siapa pun yang mengetahui kejadian kekerasan berhak dan wajib menyuarakannya. Karena dalam banyak kasus, korban tak mampu berbicara. Tapi kita bisa.

Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi

Setiap anak dan perempuan berhak merasa aman, dicintai, dan dihormati. Kekerasan bukan bagian dari budaya. Kekerasan adalah pelanggaran terhadap martabat manusia.

“Kami hadir untuk mendengar, mendampingi, dan melindungi. Jangan biarkan mereka sendirian. Mari bersuara bersama SAPA 129,” pesan Kementerian PPPA.

Jika Anda, keluarga, atau siapa pun di sekitar Anda mengalami kekerasan, jangan ragu. Segera hubungi SAPA 129.

 

Penulis: Juli

sumber : indonesia.go.id

Continue Reading

opini

RPJM 2025-2029, Pemerintah Target Angka Kemiskinan Ekstrim 0 Persen

Published

on

By

KOMITMEN  kuat Presiden Prabowo terhadap isu pengentasan kemiskinan ditegaskan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Pengentasan kemiskinan menjadi salah satu fondasi utama dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Melalui Program Asta-Cita, Presiden Prabowo menempatkan pengurangan kesenjangan dan pemerataan ekonomi sebagai bagian dari tujuh prioritas strategis yang menjadi dasar arah pembangunan nasional.

Seperti tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah menargetkan angka kemiskinan ekstrem mencapai 0 persen pada 2029 dan angka kemiskinan umum ditekan hingga 4,5 persen. Target ini ambisius, mengingat per September 2024, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tercatat sebesar 24,06 juta orang atau setara 8,57 persen dari total populasi.

Meski demikian, Presiden Prabowo meyakini bahwa percepatan pengentasan kemiskinan bisa dicapai melalui program-program prioritas yang menyasar langsung akar masalah: rendahnya daya beli, ketimpangan antarwilayah, serta kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum optimal.

Bank Dunia: Garis Kemiskinan Nasional Tetap Relevan

Dalam laporan terbarunya yang dirilis pada 13 Juni 2025, Bank Dunia menegaskan bahwa garis kemiskinan nasional yang dihitung BPS tetap relevan sebagai acuan kebijakan pemerintah Indonesia. Meskipun Bank Dunia telah memperbarui standar garis kemiskinan internasional menggunakan Purchasing Power Parity (PPP) 2021, yang menempatkan garis kemiskinan Indonesia pada USD8,30 per hari atau sekitar Rp1.512.000 per bulan per orang, Bank Dunia mengakui bahwa garis kemiskinan nasional lebih tepat untuk mengukur kesejahteraan domestik.

Perbedaan ini muncul karena Bank Dunia menggunakan standar global yang memungkinkan perbandingan antarnegara, sementara BPS menyesuaikan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimal pangan dan non-pangan masyarakat Indonesia, dengan mempertimbangkan disparitas biaya hidup antarwilayah.

Sebagai ilustrasi, menurut Bank Dunia, jika mengacu pada standar global terbaru, tingkat kemiskinan Indonesia pada 2024 berada di 68,3 persen dari total populasi, atau sekitar 194,72 juta orang. Sementara berdasarkan perhitungan BPS, angka kemiskinan pada periode yang sama hanya 8,57 persen.

Bank Dunia menegaskan bahwa, “Definisi kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena digunakan untuk tujuan yang berbeda”. Garis kemiskinan nasional digunakan pemerintah untuk merancang program perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dan bantuan sosial lainnya.

Inpres 8/2025: Instruksi Terpadu untuk Pengentasan Kemiskinan

Komitmen kuat Presiden Prabowo terhadap isu pengentasan kemiskinan ditegaskan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Merujuk Inpres tersebut, pemerintah menetapkan tiga pilar strategi nasional, yakni pengurangan beban pengeluaran masyarakat: melalui program bantuan sosial, subsidi pangan, dan layanan pendidikan serta kesehatan gratis; peningkatan pendapatan masyarakat: melalui program padat karya, pemberdayaan ekonomi desa, dan dukungan UMKM; dan penghapusan kantong-kantong kemiskinan: dengan mengintervensi langsung wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi melalui pembangunan infrastruktur dasar, akses pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

Inpres ini juga memuat sebelas program prioritas pengentasan masyarakat dari kemiskinan, antara lain:

Program Sekolah Rakyat: Meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat miskin.
Kartu Indonesia Pintar (KIP): Memastikan anak-anak dari keluarga miskin tetap bersekolah.
Program Padat Karya Desa dan Sektor Perhubungan: Menciptakan lapangan kerja langsung.
Pelatihan Vokasi dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan: Meningkatkan kompetensi kerja dan perlindungan bagi pekerja rentan.
Perhutanan Sosial: Memberikan akses kelola lahan hutan kepada masyarakat sekitar.
Program Ketahanan Pangan dan Pemenuhan Gizi: Mencegah kelaparan dan gizi buruk, khususnya bagi anak-anak dan ibu hamil.
Untuk itu, Presiden Prabowo menginstruksikan 45 kementerian/lembaga dan seluruh kepala daerah untuk melaksanakan program-program ini secara terintegrasi dan progresif, dengan target akhir 31 Desember 2029.

Di samping itu, untuk mengoordinasikan seluruh program secara efektif, pemerintah membentuk Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) melalui Peraturan Presiden Nomor 163 Tahun 2024. Mantan anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko ditunjuk sebagai Kepala BP Taskin dengan mandat penuh untuk memastikan pelaksanaan program berjalan tepat sasaran.

Dampak dari Program Makan Bergizi Gratis

Salah satu program yang mendapatkan perhatian publik adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Selain bertujuan memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah dan ibu hamil, program ini memberikan dampak ekonomi yang signifikan.

Menurut Wakil Menteri Sosial (Wamensos), Agus Jabo Priyono, setidaknya sejak Februari 2025, MBG mengalirkan dana Rp6-7 miliar per desa per tahun yang mendorong aktivitas ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan daya beli masyarakat. “Ini bukan hanya soal makan gratis. Ini tentang menggerakkan ekonomi desa, menekan kemiskinan, dan menyiapkan generasi sehat menuju Indonesia Emas 2045,” jelas Agus Jabo.

Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 1.837 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) telah beroperasi hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan menyerap sebanyak 72.521 tenaga kerja.

Menurut Staf Khusus Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Bidang Komunikasi Redy Hendra Gunawan di Jakarta, Minggu (22/6/2025), hingga per 22 Juni telah beroperasional 1.837 SPPG hampir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

Pihak BGN menargetkan penambahan jumlah SPPG menjadi 7.000 unit pada bulan Agustus, dan secara bertahap mencapai 32.000 unit pada bulan November 2025.

Selain itu, BGN telah melibatkan total 72.521 tenaga kerja dalam pelaksanaan layanan SPPG. Komposisinya meliputi 1.837 kepala SPPG, 1.499 ahli gizi, 1.481 akuntan, 1.642 kepala lapangan, serta 1.525 juru masak dan 11.884 chef.

Redy Hendra Gunawan menyebutkan setidaknya terdapat 144 UMKM yang sudah bergabung menjadi mitra BGN. Terdapat pula 23 koperasi, 7 badan usaha milik desa (bumdes), 25 CV, dan 144 perusahaan yang bermitra dalam hal penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur SPPG yang dibutuhkan oleh BGN.

“Total supplier dari koperasi bumdes, UMKM, totalnya ada sekitar 4.718. Jadi, ini angka yang luar biasa, baru enam bulan berjalan, saya kira ini efek yang sangat signifikan untuk kelembagaan ekonomi lokal,” kata Redy.

Mendorong Kemandirian Penerima Bantuan

Pengentasan masyarakat dari kemiskinan tidak cukup dengan program karikatif seperti bansos. Karena itu, Kementerian Sosial juga meluncurkan strategi graduasi bagi penerima bantuan sosial. Melalui program ini, keluarga penerima manfaat didorong untuk bertransformasi dari penerima bantuan menjadi pelaku ekonomi yang produktif.

Wamensos Agus Jabo menegaskan, “Kami tidak ingin masyarakat miskin selamanya menjadi penerima bantuan. Yang mau kerja, kami siapkan lapangan pekerjaan. Yang mau usaha, kami fasilitasi akses UMKM dan koperasi.”

Salah satu langkah penting mengatasi kemiskinan adalah integrasi data sosial dan ekonomi melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), dan data kependudukan dari Dukcapil, yang bertujuan untuk meningkatkan akurasi sasaran program sosial dan ekonomi.

Dengan begitu, sistem pendataan Kemensos kini lebih tertata. Peran pemerintah daerah kini lebih besar memperbarui data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) agar bantuan sosial dan program pemberdayaan benar-benar tepat sasaran. Pemerintah daerah berkomitmen untuk terus memastikan data by name, by address agar tidak ada lagi masyarakat miskin yang terlewat. No one left behind, sesuai tujuan pembangunan millenium (MDGs).

Mengurai Akar Masalah Kemiskinan

Dari lapisan kelompok miskin, ada bagian yang paling bawah. Yakni, masyarakat yang termasuk miskin ekstrem. Kemiskinan ekstrem di Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor struktural seperti: rendahnya tingkat pendidikan; akses terbatas ke layanan kesehatan dan sanitasi; minimnya kesempatan kerja produktif, ketidaksetaraan gender dan keterbatasan akses bagi penyandang disabilitas.

Setidaknya untuk mengentaskan kemiskinan paling dasar itu sudah mulai menuai hasil positif. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan ekstrem yang didefinisikan sebagai pengeluaran di bawah Rp10.739 per hari per individu, telah menurun drastis dari 6,18 persen pada 2014 menjadi hanya 0,83 persen pada Maret 2024. Penurunan ini mencerminkan keberhasilan berbagai program pemerintah yang terintegrasi dan berfokus pada pemberdayaan masyarakat miskin serta peningkatan akses terhadap layanan dasar. Penurunan angka kemiskinan ekstrem ini juga menjadi indikator penting bahwa Indonesia makin mendekati target eliminasi kemiskinan ekstrem yang ditetapkan pemerintah untuk 2029.

Mulai tahun ini, berbagai program sosial dan ekonomi yang dijalankan pemerintah berperan besar untuk mencapai target eliminasi kemiskinan. Program bantuan sosial seperti PKH, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan subsidi listrik telah memberikan dukungan langsung kepada keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Selain itu, peningkatan akses layanan kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pembangunan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, dan jalan desa telah memperbaiki kualitas hidup masyarakat di daerah tertinggal dan terpencil.

Pemberdayaan ekonomi masyarakat juga menjadi fokus utama, dengan pelatihan keterampilan, akses permodalan mikro, dan pengembangan usaha kecil menengah yang membantu meningkatkan pendapatan dan kemandirian ekonomi keluarga miskin.

Satu hal, pemerintah menekankan bahwa pengentasan kemiskinan membutuhkan gotong royong nasional. Sinergi antarkementerian, lembaga, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat adalah kunci keberhasilan.

Melalui strategi yang terintegrasi, data yang akurat, dan komitmen politik yang kuat, Indonesia optimistis dapat mengurai persoalan kemiskinan secara berkelanjutan, mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto

 

Continue Reading

opini

Visual Pedesterian Ex MTQ Tak Utuh Mencerminkan Kita

Published

on

By

 

Oleh: Muh. Nato Alhaq
(Kaprodi Desain Komunikasi Visual UM Kendari)

Saudaraku, tulisan ini bukan untuk mengusikmu jogingmu di kawasan eks-MTQ Kendari.

Teruslah berbagi bahagia lewat foto dan statusmu. Izin membagi gelisah tentang keping wajah Kendari.

Landmark Bukan Sekadar Estetika
Landmark bukan hanya titik foto atau ruang joging sore.

Dalam arsitektur kota modern, ia adalah jantung identitas visual dan emosional warga. Kota-kota seperti Bandung atau Singapura telah membuktikan bahwa landmark yang ditata dengan visi budaya mampu menjadi ruang sosial, diplomasi kreatif, hingga simbol kebanggaan kolektif.

Simbol visual dan desain ruang kota memiliki kekuatan menyambung sejarah, emosi, dan kebanggaan kolektif. Maka, menata landmark adalah merancang ulang cara warga terlibat, cara generasi muda merayakan kotanya, dan cara dunia membaca watak sebuah kota.

Perencanaan spasial yang sensitif terhadap keragaman budaya (Healey, 1997) telah menghasilkan kerangka kerja desain inklusif, yang menekankan aksesibilitas dan dukungan terhadap kegiatan kebudayaan.

Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah bahwa ruang publik harus mencerminkan komunitas yang menggunakannya, baik dari sisi nilai maupun visualitas budaya mereka (Low, 2005; Sandercock, 2001).

Ruang publik yang demikian tidak hanya menjadi tempat bertemu, tapi juga media ekspresi dan representasi kolektif dari beragam kelompok sosial di kota.

[1] Dalam teori city branding, landmark harus berbicara—tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita ingin menuju. Ia harus merayakan nilai lokal, bukan meniru simbol kota lain tanpa konteks.

Dari Titik Nol ke Tiruan Malioboro

Dulu, kawasan MTQ dibangun sebagai penanda lahirnya Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Tugu Persatuan.

Tapi identitas itu kemudian kabur, ketika penataan visual kawasan ini mengambil inspirasi dari Malioboro Yogyakarta.

Lampu jalan berwarna hijau tua dengan sulur keemasan, kursi taman bergaya vintage, signage berpalet hijau-emas—semuanya terlalu mirip Malioboro.

Secara visual, kawasan MTQ kini terasa seperti replika ruang publik Jawa, bukan representasi Sulawesi Tenggara.

Saya menyebut ini sebagai cultural misalignment—ketika desain ruang tidak selaras dengan budaya lokal. Ketika warga sulit merasa “terwakili” oleh kotanya sendiri.

Ironi di Tengah Kantor Budaya
Yang paling menyedihkan, kawasan ini dikelilingi institusi yang justru memikul tanggung jawab menjaga budaya lokal:

Dinas Pariwisata, Museum Sultra, dan Lembaga Adat Tolaki (LAT). Tapi tepat di depan mata mereka, ruang publik utama malah dihias dengan gaya visual yang tidak mencerminkan kearifan lokal.

Apakah kita tidak punya motif sendiri? Padahal kain tenun Sultra menyimpan banyak pola visual yang kuat, kaya makna, dan khas. Desain ruang publik seharusnya mengangkat itu, bukan menggantinya dengan ornamen visual dari luar.

Jalan Keluar: Rekonstruksi Visual & Fungsi Sosial

Kini saatnya kawasan MTQ direkonstruksi, bukan hanya dari sisi estetika, tapi dari keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Beberapa arah strategis yang bisa dipertimbangkan:

Reinterpretasi Motif Lokal
Angkat motif tenun, ukiran khas, dan elemen visual Sultra ke dalam desain signage, kursi taman, pencahayaan, hingga lanskap. Ini bukan sekadar hiasan, tapi pernyataan identitas.

Zona Interaksi Terbuka
Jadikan kawasan MTQ sebagai ruang kolaboratif: tempat pertunjukan seni, skatepark, panggung budaya, atau kelas terbuka untuk komunitas muda. Biarkan anak-anak muda bermain, berekspresi, dan membangun hubungan dengan ruangnya.

Penciptaan Simbol Baru

Kita butuh ikon visual Kendari yang orisinal—entah berupa patung, maskot, atau instalasi publik yang merepresentasikan wajah kota ini yang dinamis, terbuka, tapi tetap berakar.

Menata Ulang, Bukan Menghapus

Tulisan ini bukan tentang menyalahkan siapa-siapa. Justru ini bentuk kepedulian. Landmark bukan soal bangunan megah, tapi soal makna yang dibawa dan warisan yang ingin ditinggalkan.

Kawasan MTQ bisa menjadi simbol kebudayaan Sultra yang hidup—asal kita berani melepaskan romantisme visual luar, dan mulai membangun wajah kota kita dari dalam. Dari cerita, nilai, dan motif yang benar-benar milik kita.
Tabe bang… Biarmi Malioboro tetap ada di sana. Janganmi bawa ke sini. Biar dia tetap disudut rindu kita. Seperti Bait Klaproject: Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.

Pustaka
1. Julianne Manuguid, (2024). A Negotiation of Identities: Multi-cultural public spaces to foster the search of self-identity (Master’s thesis, Victoria University of Wellington).

2. https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fsultrainformasi.id

3.https://www.intipseleb.com/gaya-hidup/47137-jalan-malioboro

 

Penulis : Muh. Nato Alhaq
(Kaprodi Desain Komunikasi Visual Universitas Muhamadiyah Kendari

Continue Reading

Trending