Connect with us

Rupa-rupa

Pj Bupati Mubar Serahkan Beasiswa Bagi 258 Mahasiswa Berprestasi

Published

on

MUBAR : BURSABISNIS.ID– Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Muna Barat (Mubar) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyerahkan beasiswa prestasi bagi 258 putra-putri terbaik yang sementara melanjutkan pendidikan baik Strata 1 (S1) maupun Strata 2 (S2).

Penjabat (Pj) Bupati Muna Barat, Bahri menyampaikan agar mahasiswa yang mendapatkan bantuan tersebut untuk terus meningkatkan prestasi baik secara akademik maupun minat dan bakat.

“Dari 337 mahasiswa berprestasi yang mendaftar 257 yang dinyatakan lulus. Terus tingkatkan prestasi,” ungkapnya. Senin, 6 November 2023.

Kategori beasiswa mahasiswa strata satu (S1) sebanyak 204 orang dan 25 adalah mahasiswa S2. Sementara untuk kategori beasiswa seni dan olahraga sebanyak 28 orang.

Bahri mengatakan, beasiswa prestasi yang disalurkan untuk mahasiswa merupakan bentuk kepedulian Pemda terhadap pendidikan, serta meningkatkan mutu sumber daya manusia.

“Mahasiswa diharapkan untuk terus meningkatkan prestasi yang dimilikinya baik dibidang akademik maupun non akademik,” tambahnya.

Penyerahan beasiswa itu kata Bahri, melalui rekening masing-masing penerima. Hal ini untuk menghindari adanya dugaan potongan terhadap jumlah beasiswa yang diterima oleh mahasiswa, kemudian ia berkomitmen akan terus melanjutkan program ini hingga tahun selanjutnya.

Ketua panitia seleksi penerimaan beasiswa Pemda Mubar, La Karimu mengatakan, jumlah penerima beasiswa ada penambahan satu orang, yakni dari 257 orang menjadi 258 orang, pasalnya ada salah satu mahasiswa asal Muna Barat yang menang bertanding di luar negeri dan berhasil meraih medali.

“Jadi penerima beasiswa hari ini bertambah, dan beasiswa itu akan diserahkan langsung melalui rekening masing-masing,” pungkasnya.

Kemudian, untuk jumlah anggaran yang diterima oleh mahasiswa yakni untuk atlet yang bertanding di luar negeri sebesar Rp 20 juta, mahasiswa S1 sebesar Rp 5 juta, mahasiswa S2 sebesar Rp 7 juta, dan Tahfiz sebesar Rp 7 juta.

Selanjutnya, salah satu penerima beasiswa, Juliati mengaku sangat bersyukur dengan adanya program pemerintah daerah yang mana telah memberikan bantuan beasiswa mulai dari mahasiswa berprestasi di bidang akademik maupun non akademik.

“Tentunya ini sangat membantu untuk kami para mahasiswa,” singkatnya.

 

Laporan : Hasan Jufri

Publisher : Phoyo

opini

Visual Pedesterian Ex MTQ Tak Utuh Mencerminkan Kita

Published

on

By

 

Oleh: Muh. Nato Alhaq
(Kaprodi Desain Komunikasi Visual UM Kendari)

Saudaraku, tulisan ini bukan untuk mengusikmu jogingmu di kawasan eks-MTQ Kendari.

Teruslah berbagi bahagia lewat foto dan statusmu. Izin membagi gelisah tentang keping wajah Kendari.

Landmark Bukan Sekadar Estetika
Landmark bukan hanya titik foto atau ruang joging sore.

Dalam arsitektur kota modern, ia adalah jantung identitas visual dan emosional warga. Kota-kota seperti Bandung atau Singapura telah membuktikan bahwa landmark yang ditata dengan visi budaya mampu menjadi ruang sosial, diplomasi kreatif, hingga simbol kebanggaan kolektif.

Simbol visual dan desain ruang kota memiliki kekuatan menyambung sejarah, emosi, dan kebanggaan kolektif. Maka, menata landmark adalah merancang ulang cara warga terlibat, cara generasi muda merayakan kotanya, dan cara dunia membaca watak sebuah kota.

Perencanaan spasial yang sensitif terhadap keragaman budaya (Healey, 1997) telah menghasilkan kerangka kerja desain inklusif, yang menekankan aksesibilitas dan dukungan terhadap kegiatan kebudayaan.

Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah bahwa ruang publik harus mencerminkan komunitas yang menggunakannya, baik dari sisi nilai maupun visualitas budaya mereka (Low, 2005; Sandercock, 2001).

Ruang publik yang demikian tidak hanya menjadi tempat bertemu, tapi juga media ekspresi dan representasi kolektif dari beragam kelompok sosial di kota.

[1] Dalam teori city branding, landmark harus berbicara—tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita ingin menuju. Ia harus merayakan nilai lokal, bukan meniru simbol kota lain tanpa konteks.

Dari Titik Nol ke Tiruan Malioboro

Dulu, kawasan MTQ dibangun sebagai penanda lahirnya Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Tugu Persatuan.

Tapi identitas itu kemudian kabur, ketika penataan visual kawasan ini mengambil inspirasi dari Malioboro Yogyakarta.

Lampu jalan berwarna hijau tua dengan sulur keemasan, kursi taman bergaya vintage, signage berpalet hijau-emas—semuanya terlalu mirip Malioboro.

Secara visual, kawasan MTQ kini terasa seperti replika ruang publik Jawa, bukan representasi Sulawesi Tenggara.

Saya menyebut ini sebagai cultural misalignment—ketika desain ruang tidak selaras dengan budaya lokal. Ketika warga sulit merasa “terwakili” oleh kotanya sendiri.

Ironi di Tengah Kantor Budaya
Yang paling menyedihkan, kawasan ini dikelilingi institusi yang justru memikul tanggung jawab menjaga budaya lokal:

Dinas Pariwisata, Museum Sultra, dan Lembaga Adat Tolaki (LAT). Tapi tepat di depan mata mereka, ruang publik utama malah dihias dengan gaya visual yang tidak mencerminkan kearifan lokal.

Apakah kita tidak punya motif sendiri? Padahal kain tenun Sultra menyimpan banyak pola visual yang kuat, kaya makna, dan khas. Desain ruang publik seharusnya mengangkat itu, bukan menggantinya dengan ornamen visual dari luar.

Jalan Keluar: Rekonstruksi Visual & Fungsi Sosial

Kini saatnya kawasan MTQ direkonstruksi, bukan hanya dari sisi estetika, tapi dari keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Beberapa arah strategis yang bisa dipertimbangkan:

Reinterpretasi Motif Lokal
Angkat motif tenun, ukiran khas, dan elemen visual Sultra ke dalam desain signage, kursi taman, pencahayaan, hingga lanskap. Ini bukan sekadar hiasan, tapi pernyataan identitas.

Zona Interaksi Terbuka
Jadikan kawasan MTQ sebagai ruang kolaboratif: tempat pertunjukan seni, skatepark, panggung budaya, atau kelas terbuka untuk komunitas muda. Biarkan anak-anak muda bermain, berekspresi, dan membangun hubungan dengan ruangnya.

Penciptaan Simbol Baru

Kita butuh ikon visual Kendari yang orisinal—entah berupa patung, maskot, atau instalasi publik yang merepresentasikan wajah kota ini yang dinamis, terbuka, tapi tetap berakar.

Menata Ulang, Bukan Menghapus

Tulisan ini bukan tentang menyalahkan siapa-siapa. Justru ini bentuk kepedulian. Landmark bukan soal bangunan megah, tapi soal makna yang dibawa dan warisan yang ingin ditinggalkan.

Kawasan MTQ bisa menjadi simbol kebudayaan Sultra yang hidup—asal kita berani melepaskan romantisme visual luar, dan mulai membangun wajah kota kita dari dalam. Dari cerita, nilai, dan motif yang benar-benar milik kita.
Tabe bang… Biarmi Malioboro tetap ada di sana. Janganmi bawa ke sini. Biar dia tetap disudut rindu kita. Seperti Bait Klaproject: Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.

Pustaka
1. Julianne Manuguid, (2024). A Negotiation of Identities: Multi-cultural public spaces to foster the search of self-identity (Master’s thesis, Victoria University of Wellington).

2. https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fsultrainformasi.id

3.https://www.intipseleb.com/gaya-hidup/47137-jalan-malioboro

 

Penulis : Muh. Nato Alhaq
(Kaprodi Desain Komunikasi Visual Universitas Muhamadiyah Kendari

Continue Reading

opini

Saat Hidup Tak Lagi Terasa Ringan: Sebuah Renungan Tentang Waktu, Tanggung Jawab dan Kesadaran

Published

on

By

DALAM kehidupan sehari-hari, sangat sering kita dihadapkan pada berbagai persoalan yang datang bersamaan dan bahkan silih berganti. Beban pekerjaan, tanggung jawab keluarga, peran sosial, dan tekanan pribadi semuanya seolah bertumpuk, memaksa kita untuk selalu tetap kuat bahkan disaat-saat kita paling rapuh sekalipun.

Tak jarang, ketika satu masalah datang, semua hal terasa ikut runtuh. Akibat dan dampaknya, pekerjaan terbengkalai, urusan keluarga terabaikan, bahkan aktivitas sosial yang dulu adalah hiburan yang sangat menyenangkan kini terasa berat.

Lebih dari itu, kita mulai digerogoti oleh rasa bersalah yang tiada akhir, perasaan tidak nyaman dihati menjelma menjadi bayang-bayang yang terus menghantui dan mengikuti.

Kita merasa gagal menjadi orang tua yang baik, pasangan yang penuh perhatian, teman yang bisa diandalkan, bahkan kadang merasa jauh dari nilai-nilai spiritual yang dulu kita yakini dan lakukan setiap waktu.

Saya tidak menulis ini sebagai seorang yang telah menemukan semua penjelasannya, namun justru sebaliknya, saya menulis sebagai seseorang yang, dalam tiga tahun terakhir, mengalami fase-fase berat dalam hidup. Fase dimana waktu terasa berlalu begitu cepat, namun pertumbuhan diri terasa jalan ditempat dengan kondisi yang sama.

Fase ketika umur bertambah, namun kedewasaan emosi dan spiritual seolah tertahan. Dalam keheningan, sering terlintas pertanyaan lirih, “sampai kapan semua ini akan berlangsung?”

Dalam jeda yang sunyi itu, saya merenung, mungkin yang kita perlukan bukanlah solusi instan, bukan pengungsi cepat.

Tapi sebuah keberanian untuk berhenti sejenak, untuk benar-benar menyadari dimana kita berada saat ini dan ke mana kita hendak melangkah.

Karena jika dibiarkan berlarut-larut, rasa bersalah itu bisa menjadi penjara yang membatasi kita dari kehidupan yang utuh dan bermakna.

Dalam ajaran Hindu, hidup adalah karma, hasil dari tindakan dan niat kita serta keyakinan itu yang menguatkan bahwa tidak ada yang terjadi tanpa sebab.

Namun karma bukan semata-mata hukuman, tetapi juga merupakan proses dan kesempatan belajar.

Bahkan dalam kesalahan dan keterpurukan sekalipun, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki, kita hanya perlu jujur ​​pada diri sendiri dan berani mengambil langkah baru meski kecil.

Kesadaran akan waktu yang terus berjalan harus menjadi panggilan untuk bertumbuh, bukan justru menjadi tekanan yang memenjarakan.

Kita boleh lelah, tapi jangan menyerah, kita boleh jatuh, tapi jangan berhenti bangkit.

Hari ini, jika Anda merasa hidup terlalu berat, mungkin inilah saat yang tepat untuk berpikir. Bukan untuk menyesali masa lalu, tapi untuk menyambut hari-hari ke depan dengan lebih jernih.

Hidup ini terlalu berharga untuk kita jalani dalam rasa bersalah yang terus-menerus. Masih ada hari esok, masih ada kesempatan untuk menjadi lebi baih, mari mulai hari ini dengan satu niat tulus, satu langkah sadar, dan keyakinan bahwa hidup bisa lebih baik, jika kita memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dan terus berjalan, meski harus pelan tapi harus konsiten.

 

Penulis  : Kadek Yogiarta/Nang Bagia

Pemerhati Masalah Sosial

Continue Reading

opini

Ketika Jenuh Bekerja, Kita Butuh Pulang ke Makna: Refleksi Ringan Menurut Ajaran Hindu

Published

on

By

Kadek Yogiarta

Ada hari ketika kita bangun pagi dengan tubuh yang tidak sepenuhnya ingin bergerak. Kepala masih berat, hati terasa enggan melangkah ke kantor, pekerjaan pernah diidamkan dan dibayangkan dulu memberi warna dan gairah kini menjadi rutinitas yang hambar. Setiap harinya menyelesaikan tugas rutin sekedar menggugurkan kewajiban.

Kalau sudah begini, biasanya kita menyebutnya: jenuh bekerja, tapi benarkah jenuh itu soal pekerjaan yang berat? Atau sebenarnya kita sedang kehilangan sesuatu yang lebih dalam?

Bekerja : Antara Tuntutan dan Tumbuhnya Diri

Dalam dunia saat ini yang serba cepat dan kompetitif ini, kita sering dipaksa untuk bergerak terus, kejar target, penuhi deadline, naikkan performa, kita bekerja karena harus bukan karena ingin.
Semakin lama kita lupa bahwa bekerja sejatinya adalah bagian dari hakikat dari kelahiran menjadi manusia, pada titik inilah rasa jenuh lahir, ini bukan hanya sinyal tubuh yang lelah, tetapi juga suara jiwa yang kehilangan tujuan.

Saat kita terlalu lama berlari tanpa menoleh ke dalam diri, jenuh datang untuk mengingatkan: “berhentilah sejenak, dengarkan dirimu sendiri”.

Karma Yoga: Jalan Kerja yang Membebaskan

Dalam ajaran Hindu, jalan menghadapi kejenuhan dalam bekerja bisa ditempuh lewat mengingat dan merefleksikan kembali prinsip kerja yang dikenal dengan karma yoga, yaitu bekerja dengan penuh tanggung jawab, tulus dan iklas tanpa melekat pada hasil.

Ini bukan berarti kita tak peduli dengan hasil kerja, tetapi kita tidak menjadikan hasil sebagai satu-satunya tolok ukur nilai diri, dalam kita suci Bhagavad Gita, disebutkan Karmanye vadhikaraste, ma phaleshu kadachana” Engkau hanya berhak atas tindakanmu, bukan atas hasilnya. (Bhagavad Gita 2:47).

Sloka ini mengajak kita untuk bekerja sebagai bentuk pengabdian (bhakti) kepada Tuhan sebagai pelayan, bukan semata ambisi mendapatkan sesuatu.

Pekerjaan sehari-hari bisa menjadi praktik spiritual jika dilakukan dengan hati yang jernih, tulus dan juga ikhlas.

Bahkan melakukan pekerjaan yang paling sederhana pun seperti membersihkan ruangan tempat bekerja, merapikan barang-barang, mengarsipkan surat, mengantar surat, sampai pada memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang datang dengan dengan segala urusannya dengan sepenuh hati, dengan rasa gembira, adalah bentuk sederhana dari ajaran karma yoga dan selanjutnya dapat menjadi jalan pembebasan diri jika dilihat sebagai yajna atau pelayanan kepada Tuhan.

Jenuh Adalah Tanda: Sudah Saatnya Reorientasi

Jika hari ini kamu merasa jenuh, jangan langsung menyalahkan pekerjaan, atasan, atau keadaan. Coba lakukan perenungan mendalam.

Bisa jadi jenuh adalah isyarat bahwa kamu perlu melakukan renungan terhadap nilai kerja, ini sekaligus melakukan refleksi tentang kerja dilakukan selama ini.

Mengingat dan bertanya Kembali dalam diri: mengapa saya bekerja di tempat ini? Apa yang sudah dilakukan selama ini dalam memajukan institusi atau organisasi? Apa yang ingin kamu tumbuhkan dari pekerjaan ini? Ambil jeda, tarik napas panjang, jangan takut untuk berdiam sejenak.

Dalam dalam ajaran Hindu diam bukan kemunduran, tetapi adalah sebuah teknik dalam Yoga untuk menyadari langkah, jenuh bukan musuh, ia adalah guru yang datang untuk membimbing kita pulang ke dalam diri untuk mendengarkan suara hati.

Bekerja adalah Swadharma

Bekerja bukan hanya untuk mendapatkan uang dan mendapatkan penghasilan untuk hidup, apalagi sekadar memenuhi ekspektasi sosial.

Dalam tardisi kita secara umum bekerja adalah bagian dari menjaga tatanan dan keseimbangan sosial. Dalam ajaran Hindu, bekerja adalah swadharma/kewajiban hidup, berdiam diri tanpa kerja mengingkari kehidupan.

Bekerja adalah sebagai jalan untuk menyucikan diri melalui tindakan tanpa pamrih. Ketika jenuh menyapa, jangan buru-buru melawan, dengarkan dan resapi pesannya, mungkin ia datang bukan untuk membuatmu menyerah, tapi untuk mengingatkanmu bahwa bekerja tanpa makna adalah bentuk perlahan dari kehilangan diri dan kendali.

Mari kita sadari kembali makna mendalam dari kerja, mari kembali bangkit dan mari kita bekerja lagi dengan sadar dengan sepenuh hati dan cinta yang tulus. “kerja yang dilakukan dengan cinta adalah doa yang hidup.” Kahlil Gibran.

Oleh : Kadek Yogiarta/Nang Bagia

Catatan Penulis: Tulisan ini adalah bagian dari renungan pribadi yang lahir dari kelelahan dan pencarian makna, semoga berguna bagi siapa pun yang sedang duduk lelah, merenungi arah.

 

Continue Reading

Trending