Connect with us

Rupa-rupa

Bandel, Delapan Tahun Lebih KFC Jual Ayam Goreng Tanpa IPLC

Published

on

KENDARI – Kentucky Fried Chiken (KFC) Cabang MT. Haryono, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) kini tengah jadi perbincangan hangat publik. Bukanlah prestasi yang diperbincangkan khalayak, melainkan dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan selama bertahun-tahun.

Bagaimana tidak, delapan tahun lebih sudah restaurant siap saji ini menjual ayam goreng dan meraup income, namun hal itu tak disertai dengan kepatuhan terhadap aturan yang ada.

Hal tersebut terkuak pasca Aliansi Mahasiswa Pemerhati Hukum (AMPH) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar aksi unjuk rasa, dan membeberkan dugaan pelanggaran lingkungan.

Bahkan, akibat dugaan pencemaran lingkungan tersebut, disinyalir banyak memberikan efek negatif terhadap masyarakat Kota Kendari.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Kendari, Paminuddin juga membenarkan pelanggaran regulasi lingkungan oleh restaurant siap saji tersebut.

Kendati demikian, kata mantan Camat Puwatu ini, pihak KFC akan segera melakukan pembenahan IPLC, dan saat ini tengah diurus management KFC pusat.

“Iya, memang benar ada pelanggaran,” ujarnya saat ditemui di salah satu hotel di Kota Kendari, Selasa 30 Juli 2019.

Ditanya soal tindakan pengawasan yang terkesan lemah, mantan Sekretaris Dinas Sosial (Dinsos) ini beralibi, bahwa pihaknya kekurangan personil untuk melakukan pengawasan terhadap semua perusahaan penghasil limbah beracun.

“Bayangkan saja, tenaga pengawasan kami hanya tujuh orang saja. Kan tidak serta merta kita menempatkan orang di bidang pengawasan ini, kalau tidak memahami regulasi,” jelasnya.

Indikasi membandelnya KFC berupa pelanggaran regulasi lingkungan ini juga terkuak pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kota Kendari, Senin 29 Juli 2019.

Ketua Komisi III DPRD Kota Kendari, Sukarni Ali Madya yang memimpin RDP tersebut menegaskan, bahwa KFC belum melengkapi persyaratan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL)/Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).

Tindakan KFC yang terkesan membandel sangat disayangkan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini. Padahal, restaurant siap saji dengan produk andalan ayam goreng ini telah beroperasi sejak November 2010 lalu.

Idealnya, izin lingkungan terlebih dahulu diutamakan dalam kepengurusan, sebelum melakukan operasional atas usaha yang dijalani.

Secara gamblang, Sukarni menyebut bahwa KFC langgar Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 68 Tahun 2016, tentang Baku Mutu Limbah Domestik.

Berdasarkan Permen LHK nomor 68 tahun 2016, tentang baku mutu limbah domestik, pada pasal 3 ayat satu (1) menjelaskan, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan air limbah domestik wajib melakukan pengolahan air limbah domestik yang dihasilkannya.

Kemudian, pada ayat dua (2) dijelaskan, pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tersendiri, tanpa menggabungkan dengan pengolahan air limbah dari kegiatan lainnya; atau terintegrasi, melalui penggabungan air limbah dari kegiatan lainnya ke dalam satu sistem pengolahan air limbah.

Sedangkan pada ayat tiga (3) disebutkan, pengolahan air limbah secara tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib memenuhi baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini. Selanjutnya, ayat empat (4) juga menjelaskan, pengolahan air limbah secara terintegrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib memenuhi baku mutu air limbah, yang dihitung berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Berdasarkan hasil penelusuran pada pemberitaan di media online, ternyata perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran lingkungan yang dilakukan KFC bukanlah pertama kalinya di Indonesia. Sebab, selain cabang yang terletak di MT. Haryono, Kota Kendari, Restauran KFC di Jalan Gajah Mada, Kota Pontianak, Kalimantan Barat pada tahun 2014 lalu juga ditemukan melakukan pencemaran.

Bedanya, jika pelanggaran lingkungan KFC di Pontianak ditemukan langsung oleh pihak Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak, dan langsung mendatangi serta menindaki pelanggaran tersebut. Pelanggaran KFC MT. Haryono justru terkuak berkat perhatian para mahasiswa yang tergabung dalam AMPH Sultra.

Sedangkan pemerintah, dalam hal ini DLHK Kota Kendari seakan-akan tak bekerja, sehingga pelanggaran lingkungan ini terjadi berlarut-larut tanpa ada penindakan.

Sebelumnya, AMPH Sultra menggelar aksi unjuk rasa (Unras) di halaman parkir KFC MT. Haryono, Senin 21 Juli 2019 lalu. Pasalnya, perusahaan nirlaba asal Amerika ini disinyalir tidak memiliki penampungan limbah.

Dilansir dari laman topikterkini.com, retaurant tersebut diduga pembawa racun dan malah petaka di Kota Kendari. Hal itu di sampaikan Koordinator Lapangan (Korlap) AMPH Sultra, Sawal Lindo dalam orasinya.

“Perusahaan KFC tersebut akan mengancam Kota Kendari tidak sehat,” kata Korlap AMPH Sultra, Sawal Lindo.

Sementara itu, Rest Manager KFC di Sultra, La Fani Sitamkar bersikukuh bahwa pihaknya tidak melakukan pencemaran seperti yang ditudingkan selama ini.

Tak hanya itu, La Fani juga mengaku, pihaknya hanya menjual ayam goreng, sehingga tak menghasilkan limbah berbahaya dan beracun atau B3.

“Lingkungan mana yang kami cemarkan? Limbah mana juga yang kami produksi?. Yang kami produksi ini kan hanya ayam goreng, beda dengan rumah makan yang lainnya, ada ikan, ayam, daging dan lain-lainnya,” ucal La Fani, Rabu 31 Juli 2019.

Dia juga mengaku, bahwa pihaknya sudah memiliki IPAL, hanya membutuhkan penyempurnaan saja sesuai dengan standarisasi yang dijelaskan dalam Permen LHK nomor 68 tahun 2016. Dan saat ini, lanjutnya, management KFC pusat tengah melakukan penyempurnaan IPAL tersebut.

Pernyataan Rest Manager KFC wilayah Sultra ini ditanggapi serius oleh Koordinator AMPH Sultra, Bram Barakatino. Menurut dia, komentar La Fani sangat ngawur dan seakan-akan dia amnesia dengan semua materi RDP, yang turut dia ikuti di DPRD Senin kemarin.

“Satu hal yang harus dia tahu, pencemaran itu bukan hanya limbah B3. Redaksi Undang-undang itu limbah. Artinya, bukan hanya B3 yang dimaksud melainkan domestik,” tegas aktivis lingkungan hidup ini, saat dikonfirmasi via WhatsApp.

” Jadi, kalau masi tetap “onani” dengan “ketololan” yang meroket seperti itu, saya tidak punya pertimbangan banyak lagi untuk ajukan perkara pidananya ke pihak Tipiter Polres Kendari,” tambah Bram Barakatino.

 

 

 

Laporan: Azka Fausan

opini

Visual Pedesterian Ex MTQ Tak Utuh Mencerminkan Kita

Published

on

By

 

Oleh: Muh. Nato Alhaq
(Kaprodi Desain Komunikasi Visual UM Kendari)

Saudaraku, tulisan ini bukan untuk mengusikmu jogingmu di kawasan eks-MTQ Kendari.

Teruslah berbagi bahagia lewat foto dan statusmu. Izin membagi gelisah tentang keping wajah Kendari.

Landmark Bukan Sekadar Estetika
Landmark bukan hanya titik foto atau ruang joging sore.

Dalam arsitektur kota modern, ia adalah jantung identitas visual dan emosional warga. Kota-kota seperti Bandung atau Singapura telah membuktikan bahwa landmark yang ditata dengan visi budaya mampu menjadi ruang sosial, diplomasi kreatif, hingga simbol kebanggaan kolektif.

Simbol visual dan desain ruang kota memiliki kekuatan menyambung sejarah, emosi, dan kebanggaan kolektif. Maka, menata landmark adalah merancang ulang cara warga terlibat, cara generasi muda merayakan kotanya, dan cara dunia membaca watak sebuah kota.

Perencanaan spasial yang sensitif terhadap keragaman budaya (Healey, 1997) telah menghasilkan kerangka kerja desain inklusif, yang menekankan aksesibilitas dan dukungan terhadap kegiatan kebudayaan.

Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah bahwa ruang publik harus mencerminkan komunitas yang menggunakannya, baik dari sisi nilai maupun visualitas budaya mereka (Low, 2005; Sandercock, 2001).

Ruang publik yang demikian tidak hanya menjadi tempat bertemu, tapi juga media ekspresi dan representasi kolektif dari beragam kelompok sosial di kota.

[1] Dalam teori city branding, landmark harus berbicara—tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita ingin menuju. Ia harus merayakan nilai lokal, bukan meniru simbol kota lain tanpa konteks.

Dari Titik Nol ke Tiruan Malioboro

Dulu, kawasan MTQ dibangun sebagai penanda lahirnya Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Tugu Persatuan.

Tapi identitas itu kemudian kabur, ketika penataan visual kawasan ini mengambil inspirasi dari Malioboro Yogyakarta.

Lampu jalan berwarna hijau tua dengan sulur keemasan, kursi taman bergaya vintage, signage berpalet hijau-emas—semuanya terlalu mirip Malioboro.

Secara visual, kawasan MTQ kini terasa seperti replika ruang publik Jawa, bukan representasi Sulawesi Tenggara.

Saya menyebut ini sebagai cultural misalignment—ketika desain ruang tidak selaras dengan budaya lokal. Ketika warga sulit merasa “terwakili” oleh kotanya sendiri.

Ironi di Tengah Kantor Budaya
Yang paling menyedihkan, kawasan ini dikelilingi institusi yang justru memikul tanggung jawab menjaga budaya lokal:

Dinas Pariwisata, Museum Sultra, dan Lembaga Adat Tolaki (LAT). Tapi tepat di depan mata mereka, ruang publik utama malah dihias dengan gaya visual yang tidak mencerminkan kearifan lokal.

Apakah kita tidak punya motif sendiri? Padahal kain tenun Sultra menyimpan banyak pola visual yang kuat, kaya makna, dan khas. Desain ruang publik seharusnya mengangkat itu, bukan menggantinya dengan ornamen visual dari luar.

Jalan Keluar: Rekonstruksi Visual & Fungsi Sosial

Kini saatnya kawasan MTQ direkonstruksi, bukan hanya dari sisi estetika, tapi dari keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Beberapa arah strategis yang bisa dipertimbangkan:

Reinterpretasi Motif Lokal
Angkat motif tenun, ukiran khas, dan elemen visual Sultra ke dalam desain signage, kursi taman, pencahayaan, hingga lanskap. Ini bukan sekadar hiasan, tapi pernyataan identitas.

Zona Interaksi Terbuka
Jadikan kawasan MTQ sebagai ruang kolaboratif: tempat pertunjukan seni, skatepark, panggung budaya, atau kelas terbuka untuk komunitas muda. Biarkan anak-anak muda bermain, berekspresi, dan membangun hubungan dengan ruangnya.

Penciptaan Simbol Baru

Kita butuh ikon visual Kendari yang orisinal—entah berupa patung, maskot, atau instalasi publik yang merepresentasikan wajah kota ini yang dinamis, terbuka, tapi tetap berakar.

Menata Ulang, Bukan Menghapus

Tulisan ini bukan tentang menyalahkan siapa-siapa. Justru ini bentuk kepedulian. Landmark bukan soal bangunan megah, tapi soal makna yang dibawa dan warisan yang ingin ditinggalkan.

Kawasan MTQ bisa menjadi simbol kebudayaan Sultra yang hidup—asal kita berani melepaskan romantisme visual luar, dan mulai membangun wajah kota kita dari dalam. Dari cerita, nilai, dan motif yang benar-benar milik kita.
Tabe bang… Biarmi Malioboro tetap ada di sana. Janganmi bawa ke sini. Biar dia tetap disudut rindu kita. Seperti Bait Klaproject: Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.

Pustaka
1. Julianne Manuguid, (2024). A Negotiation of Identities: Multi-cultural public spaces to foster the search of self-identity (Master’s thesis, Victoria University of Wellington).

2. https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fsultrainformasi.id

3.https://www.intipseleb.com/gaya-hidup/47137-jalan-malioboro

 

Penulis : Muh. Nato Alhaq
(Kaprodi Desain Komunikasi Visual Universitas Muhamadiyah Kendari

Continue Reading

opini

Saat Hidup Tak Lagi Terasa Ringan: Sebuah Renungan Tentang Waktu, Tanggung Jawab dan Kesadaran

Published

on

By

DALAM kehidupan sehari-hari, sangat sering kita dihadapkan pada berbagai persoalan yang datang bersamaan dan bahkan silih berganti. Beban pekerjaan, tanggung jawab keluarga, peran sosial, dan tekanan pribadi semuanya seolah bertumpuk, memaksa kita untuk selalu tetap kuat bahkan disaat-saat kita paling rapuh sekalipun.

Tak jarang, ketika satu masalah datang, semua hal terasa ikut runtuh. Akibat dan dampaknya, pekerjaan terbengkalai, urusan keluarga terabaikan, bahkan aktivitas sosial yang dulu adalah hiburan yang sangat menyenangkan kini terasa berat.

Lebih dari itu, kita mulai digerogoti oleh rasa bersalah yang tiada akhir, perasaan tidak nyaman dihati menjelma menjadi bayang-bayang yang terus menghantui dan mengikuti.

Kita merasa gagal menjadi orang tua yang baik, pasangan yang penuh perhatian, teman yang bisa diandalkan, bahkan kadang merasa jauh dari nilai-nilai spiritual yang dulu kita yakini dan lakukan setiap waktu.

Saya tidak menulis ini sebagai seorang yang telah menemukan semua penjelasannya, namun justru sebaliknya, saya menulis sebagai seseorang yang, dalam tiga tahun terakhir, mengalami fase-fase berat dalam hidup. Fase dimana waktu terasa berlalu begitu cepat, namun pertumbuhan diri terasa jalan ditempat dengan kondisi yang sama.

Fase ketika umur bertambah, namun kedewasaan emosi dan spiritual seolah tertahan. Dalam keheningan, sering terlintas pertanyaan lirih, “sampai kapan semua ini akan berlangsung?”

Dalam jeda yang sunyi itu, saya merenung, mungkin yang kita perlukan bukanlah solusi instan, bukan pengungsi cepat.

Tapi sebuah keberanian untuk berhenti sejenak, untuk benar-benar menyadari dimana kita berada saat ini dan ke mana kita hendak melangkah.

Karena jika dibiarkan berlarut-larut, rasa bersalah itu bisa menjadi penjara yang membatasi kita dari kehidupan yang utuh dan bermakna.

Dalam ajaran Hindu, hidup adalah karma, hasil dari tindakan dan niat kita serta keyakinan itu yang menguatkan bahwa tidak ada yang terjadi tanpa sebab.

Namun karma bukan semata-mata hukuman, tetapi juga merupakan proses dan kesempatan belajar.

Bahkan dalam kesalahan dan keterpurukan sekalipun, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki, kita hanya perlu jujur ​​pada diri sendiri dan berani mengambil langkah baru meski kecil.

Kesadaran akan waktu yang terus berjalan harus menjadi panggilan untuk bertumbuh, bukan justru menjadi tekanan yang memenjarakan.

Kita boleh lelah, tapi jangan menyerah, kita boleh jatuh, tapi jangan berhenti bangkit.

Hari ini, jika Anda merasa hidup terlalu berat, mungkin inilah saat yang tepat untuk berpikir. Bukan untuk menyesali masa lalu, tapi untuk menyambut hari-hari ke depan dengan lebih jernih.

Hidup ini terlalu berharga untuk kita jalani dalam rasa bersalah yang terus-menerus. Masih ada hari esok, masih ada kesempatan untuk menjadi lebi baih, mari mulai hari ini dengan satu niat tulus, satu langkah sadar, dan keyakinan bahwa hidup bisa lebih baik, jika kita memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dan terus berjalan, meski harus pelan tapi harus konsiten.

 

Penulis  : Kadek Yogiarta/Nang Bagia

Pemerhati Masalah Sosial

Continue Reading

opini

Ketika Jenuh Bekerja, Kita Butuh Pulang ke Makna: Refleksi Ringan Menurut Ajaran Hindu

Published

on

By

Kadek Yogiarta

Ada hari ketika kita bangun pagi dengan tubuh yang tidak sepenuhnya ingin bergerak. Kepala masih berat, hati terasa enggan melangkah ke kantor, pekerjaan pernah diidamkan dan dibayangkan dulu memberi warna dan gairah kini menjadi rutinitas yang hambar. Setiap harinya menyelesaikan tugas rutin sekedar menggugurkan kewajiban.

Kalau sudah begini, biasanya kita menyebutnya: jenuh bekerja, tapi benarkah jenuh itu soal pekerjaan yang berat? Atau sebenarnya kita sedang kehilangan sesuatu yang lebih dalam?

Bekerja : Antara Tuntutan dan Tumbuhnya Diri

Dalam dunia saat ini yang serba cepat dan kompetitif ini, kita sering dipaksa untuk bergerak terus, kejar target, penuhi deadline, naikkan performa, kita bekerja karena harus bukan karena ingin.
Semakin lama kita lupa bahwa bekerja sejatinya adalah bagian dari hakikat dari kelahiran menjadi manusia, pada titik inilah rasa jenuh lahir, ini bukan hanya sinyal tubuh yang lelah, tetapi juga suara jiwa yang kehilangan tujuan.

Saat kita terlalu lama berlari tanpa menoleh ke dalam diri, jenuh datang untuk mengingatkan: “berhentilah sejenak, dengarkan dirimu sendiri”.

Karma Yoga: Jalan Kerja yang Membebaskan

Dalam ajaran Hindu, jalan menghadapi kejenuhan dalam bekerja bisa ditempuh lewat mengingat dan merefleksikan kembali prinsip kerja yang dikenal dengan karma yoga, yaitu bekerja dengan penuh tanggung jawab, tulus dan iklas tanpa melekat pada hasil.

Ini bukan berarti kita tak peduli dengan hasil kerja, tetapi kita tidak menjadikan hasil sebagai satu-satunya tolok ukur nilai diri, dalam kita suci Bhagavad Gita, disebutkan Karmanye vadhikaraste, ma phaleshu kadachana” Engkau hanya berhak atas tindakanmu, bukan atas hasilnya. (Bhagavad Gita 2:47).

Sloka ini mengajak kita untuk bekerja sebagai bentuk pengabdian (bhakti) kepada Tuhan sebagai pelayan, bukan semata ambisi mendapatkan sesuatu.

Pekerjaan sehari-hari bisa menjadi praktik spiritual jika dilakukan dengan hati yang jernih, tulus dan juga ikhlas.

Bahkan melakukan pekerjaan yang paling sederhana pun seperti membersihkan ruangan tempat bekerja, merapikan barang-barang, mengarsipkan surat, mengantar surat, sampai pada memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang datang dengan dengan segala urusannya dengan sepenuh hati, dengan rasa gembira, adalah bentuk sederhana dari ajaran karma yoga dan selanjutnya dapat menjadi jalan pembebasan diri jika dilihat sebagai yajna atau pelayanan kepada Tuhan.

Jenuh Adalah Tanda: Sudah Saatnya Reorientasi

Jika hari ini kamu merasa jenuh, jangan langsung menyalahkan pekerjaan, atasan, atau keadaan. Coba lakukan perenungan mendalam.

Bisa jadi jenuh adalah isyarat bahwa kamu perlu melakukan renungan terhadap nilai kerja, ini sekaligus melakukan refleksi tentang kerja dilakukan selama ini.

Mengingat dan bertanya Kembali dalam diri: mengapa saya bekerja di tempat ini? Apa yang sudah dilakukan selama ini dalam memajukan institusi atau organisasi? Apa yang ingin kamu tumbuhkan dari pekerjaan ini? Ambil jeda, tarik napas panjang, jangan takut untuk berdiam sejenak.

Dalam dalam ajaran Hindu diam bukan kemunduran, tetapi adalah sebuah teknik dalam Yoga untuk menyadari langkah, jenuh bukan musuh, ia adalah guru yang datang untuk membimbing kita pulang ke dalam diri untuk mendengarkan suara hati.

Bekerja adalah Swadharma

Bekerja bukan hanya untuk mendapatkan uang dan mendapatkan penghasilan untuk hidup, apalagi sekadar memenuhi ekspektasi sosial.

Dalam tardisi kita secara umum bekerja adalah bagian dari menjaga tatanan dan keseimbangan sosial. Dalam ajaran Hindu, bekerja adalah swadharma/kewajiban hidup, berdiam diri tanpa kerja mengingkari kehidupan.

Bekerja adalah sebagai jalan untuk menyucikan diri melalui tindakan tanpa pamrih. Ketika jenuh menyapa, jangan buru-buru melawan, dengarkan dan resapi pesannya, mungkin ia datang bukan untuk membuatmu menyerah, tapi untuk mengingatkanmu bahwa bekerja tanpa makna adalah bentuk perlahan dari kehilangan diri dan kendali.

Mari kita sadari kembali makna mendalam dari kerja, mari kembali bangkit dan mari kita bekerja lagi dengan sadar dengan sepenuh hati dan cinta yang tulus. “kerja yang dilakukan dengan cinta adalah doa yang hidup.” Kahlil Gibran.

Oleh : Kadek Yogiarta/Nang Bagia

Catatan Penulis: Tulisan ini adalah bagian dari renungan pribadi yang lahir dari kelelahan dan pencarian makna, semoga berguna bagi siapa pun yang sedang duduk lelah, merenungi arah.

 

Continue Reading

Trending