Connect with us

opini

Industrialisasi Morosi Ancaman Bagi Warga Konawe Utara

Published

on

Surga VDNI dan OSS, neraka bagi warga dan daerah Konawe Utara (Konut). Sebagai Masyarakat Konut, tidak hanya di darat kami diperhadapkan dengan dampak negatif dari kegiatan industri pemurnian nikel yang berdiri megah di Kabupaten Konawe itu, tetapi juga di perairan wilayah laut Konut, lambat laun mengancam kesehatan, keselamatan nelayan, mengancam kelestarian biota laut, dan mencemari biota laut.

Ada banyak kandungan yang berbahaya terkandung zat dalam batu bara. Batu bara, selain zat karbon juga mengandung besi sulfida atau pirit pada permukaannya. Zat yang satu ini jika berinteraksi dengan air laut, bisa menghasilkan asam sulfat dengan kadar tinggi. Asam sulfat membunuh ikan dan biota laut lainnya. Biota laut cenderung sensitif terhadap perubahan PH yang cepat.

Antara industri dan diskriminasi, itulah kami sebagai masyarakat Konut yang menelan pil pahitnya. Betapa tidak, secara letak geografis administrasinya berada di Kabupaten Konawe, sementara berdampak negatif bagi daerah Kabupaten Konawe Utara, ibarat kiamat sudah dekat, surganya di Konawe dan nerakanya untuk masyarakat konut.

Kekhawatiran itu terkuak dengan pencemaran polusi udara yang menghantui masyarakat kecamatan Motui. Hanya bisa pasrah menghirup udara hitam pekat buatan manusia, yang bersumber dari kegiatan produksi pada industri smelter PT. OSS.

Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara merupakan daerah perbatasan yang terletak nol kilometer antara batas administratif Kabupaten Konawe dan Konut, hanya berjarak sejengkal antara kegiatan sosial masyarakat motui dengan pusat kegiatan industri.
Smiley face

Darat, laut dan udara wilayah administratif Kabupaten Konawe Utara bak sampah dari kegiatan industrialisasi Morosi. Mulai dari pengrusakan jalan nasional dialih fungsi menjadi kepentingan jalan hauling, abrasi pantai akibat dari kegiatan mobilisasi bongkar muat dari kapal cargo ke darat, sampai mencemari udara pekat hitam bagai maut yang akan membunuh kehidupan masyarakat motui secara perlahan.

Pemerintah pusat, Pemprov dan masing-masing pemerintah daerah Konawe dan konut masalah ini sangat urgen, malapetaka bagi kehidupan masyarakat jika tidak ditanggapi dengan serius. Masyarakat Kecamatan Motui juga adalah Warga Negara Indonesia ( WNI ), bagian konstituen, masyarakat sadar hukum serta juga berkontribusi besar terhadap pajak dan berperan serta terhadap pembangunan di negeri ini. Harusnya mendapat perhatian dan keadilan yang sama seperti masyarakat Indonesia lainnya pada umumnya.

Direktur eXplor Anoa Oheo, Ashari mengajak seluruh masyarakat Konawe Utara untuk bersatu dan mengutuk keras atas yang terjadi akibat dampak buruk dari industrialisasi Morosi. Ini persoalan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Sepertinya pemerintah hanya bengong tak berdaya melihat kenyataan dan mendengar rintihan rakyatnya dari keserakahan investasi asing itu.

 

Penulis Ashari
Penulis adalah Direktur Explor Anoa Oheo

Continue Reading

opini

Ketika Jenuh Bekerja, Kita Butuh Pulang ke Makna: Refleksi Ringan Menurut Ajaran Hindu

Published

on

By

Kadek Yogiarta

Ada hari ketika kita bangun pagi dengan tubuh yang tidak sepenuhnya ingin bergerak. Kepala masih berat, hati terasa enggan melangkah ke kantor, pekerjaan pernah diidamkan dan dibayangkan dulu memberi warna dan gairah kini menjadi rutinitas yang hambar. Setiap harinya menyelesaikan tugas rutin sekedar menggugurkan kewajiban.

Kalau sudah begini, biasanya kita menyebutnya: jenuh bekerja, tapi benarkah jenuh itu soal pekerjaan yang berat? Atau sebenarnya kita sedang kehilangan sesuatu yang lebih dalam?

Bekerja : Antara Tuntutan dan Tumbuhnya Diri

Dalam dunia saat ini yang serba cepat dan kompetitif ini, kita sering dipaksa untuk bergerak terus, kejar target, penuhi deadline, naikkan performa, kita bekerja karena harus bukan karena ingin.
Semakin lama kita lupa bahwa bekerja sejatinya adalah bagian dari hakikat dari kelahiran menjadi manusia, pada titik inilah rasa jenuh lahir, ini bukan hanya sinyal tubuh yang lelah, tetapi juga suara jiwa yang kehilangan tujuan.

Saat kita terlalu lama berlari tanpa menoleh ke dalam diri, jenuh datang untuk mengingatkan: “berhentilah sejenak, dengarkan dirimu sendiri”.

Karma Yoga: Jalan Kerja yang Membebaskan

Dalam ajaran Hindu, jalan menghadapi kejenuhan dalam bekerja bisa ditempuh lewat mengingat dan merefleksikan kembali prinsip kerja yang dikenal dengan karma yoga, yaitu bekerja dengan penuh tanggung jawab, tulus dan iklas tanpa melekat pada hasil.

Ini bukan berarti kita tak peduli dengan hasil kerja, tetapi kita tidak menjadikan hasil sebagai satu-satunya tolok ukur nilai diri, dalam kita suci Bhagavad Gita, disebutkan Karmanye vadhikaraste, ma phaleshu kadachana” Engkau hanya berhak atas tindakanmu, bukan atas hasilnya. (Bhagavad Gita 2:47).

Sloka ini mengajak kita untuk bekerja sebagai bentuk pengabdian (bhakti) kepada Tuhan sebagai pelayan, bukan semata ambisi mendapatkan sesuatu.

Pekerjaan sehari-hari bisa menjadi praktik spiritual jika dilakukan dengan hati yang jernih, tulus dan juga ikhlas.

Bahkan melakukan pekerjaan yang paling sederhana pun seperti membersihkan ruangan tempat bekerja, merapikan barang-barang, mengarsipkan surat, mengantar surat, sampai pada memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang datang dengan dengan segala urusannya dengan sepenuh hati, dengan rasa gembira, adalah bentuk sederhana dari ajaran karma yoga dan selanjutnya dapat menjadi jalan pembebasan diri jika dilihat sebagai yajna atau pelayanan kepada Tuhan.

Jenuh Adalah Tanda: Sudah Saatnya Reorientasi

Jika hari ini kamu merasa jenuh, jangan langsung menyalahkan pekerjaan, atasan, atau keadaan. Coba lakukan perenungan mendalam.

Bisa jadi jenuh adalah isyarat bahwa kamu perlu melakukan renungan terhadap nilai kerja, ini sekaligus melakukan refleksi tentang kerja dilakukan selama ini.

Mengingat dan bertanya Kembali dalam diri: mengapa saya bekerja di tempat ini? Apa yang sudah dilakukan selama ini dalam memajukan institusi atau organisasi? Apa yang ingin kamu tumbuhkan dari pekerjaan ini? Ambil jeda, tarik napas panjang, jangan takut untuk berdiam sejenak.

Dalam dalam ajaran Hindu diam bukan kemunduran, tetapi adalah sebuah teknik dalam Yoga untuk menyadari langkah, jenuh bukan musuh, ia adalah guru yang datang untuk membimbing kita pulang ke dalam diri untuk mendengarkan suara hati.

Bekerja adalah Swadharma

Bekerja bukan hanya untuk mendapatkan uang dan mendapatkan penghasilan untuk hidup, apalagi sekadar memenuhi ekspektasi sosial.

Dalam tardisi kita secara umum bekerja adalah bagian dari menjaga tatanan dan keseimbangan sosial. Dalam ajaran Hindu, bekerja adalah swadharma/kewajiban hidup, berdiam diri tanpa kerja mengingkari kehidupan.

Bekerja adalah sebagai jalan untuk menyucikan diri melalui tindakan tanpa pamrih. Ketika jenuh menyapa, jangan buru-buru melawan, dengarkan dan resapi pesannya, mungkin ia datang bukan untuk membuatmu menyerah, tapi untuk mengingatkanmu bahwa bekerja tanpa makna adalah bentuk perlahan dari kehilangan diri dan kendali.

Mari kita sadari kembali makna mendalam dari kerja, mari kembali bangkit dan mari kita bekerja lagi dengan sadar dengan sepenuh hati dan cinta yang tulus. “kerja yang dilakukan dengan cinta adalah doa yang hidup.” Kahlil Gibran.

Oleh : Kadek Yogiarta/Nang Bagia

Catatan Penulis: Tulisan ini adalah bagian dari renungan pribadi yang lahir dari kelelahan dan pencarian makna, semoga berguna bagi siapa pun yang sedang duduk lelah, merenungi arah.

 

Continue Reading

opini

Upacara Samawartana dan Penamatan Siswa Pratama Widyalaya Wanasari Angkatan II : Menjaga Semangat Mendirikan dan Menyekolahkan

Published

on

By

Upacara Samawartana dan Penamatan Siswa Pratama Widyalaya Wanasari Angkatan II di Konawe Selatan. -foto:ist-

Pratama Widyalaya Wanasari kembali mengukir jejak penting dalam pengembangan pendidikan Hindu di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan menyelenggarakan upacara Samawartana dan penamatan siswa angkatan II Tahun Pelajaran 2024/2025.

Kegiatan berlangsung di Mandala Utama Pura Desa Puseh Adat Wanasari, Desa Andoolo Utama, Kecamatan Buke, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel).

Sebanyak 11 siswa mengikuti prosesi penamatan yang dihadiri oleh Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Hindu Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tenggara, I Komang Sukeyasa, SE.
Dalam sambutannya, Pembimas Hindu I Komang Sukeyasa menyampaikan apresiasi dan harapan agar para siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang Adi Widyalaya, yang telah memperoleh izin operasional pada tahun 2024.

Keberhasilan ini merupakan hasil kerja bersama seluruh elemen—pengelola, guru, siswa, dan orang tua. Pendidikan Widyalaya adalah investasi jangka panjang. Kami mendorong para orang tua agar tidak ragu menyekolahkan putra-putrinya di lembaga ini,” ujar I Komang Sukeyasa.

Ketua Yayasan Wanasari DU Silea Jaya, Wayan Gesar, S.Pd., M.Pd., serta Kepala Sekolah Pratama Widyalaya Wanasari, Ketut Sidhi Subagia, S.Pd dalam laporan menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak, termasuk Ditjen Bimas Hindu Kemenag RI dan daerah serta umat Hindu Desa Adat Wanasari atas dukungan yang konsisten.

Tokoh umat sekaligus Ketua Pembina Yayasan, Dr. Ir. I Wayan Mustika, ST., MT., mengingatkan pentingnya menjaga semangat kolektif umat dalam mendirikan lembaga keagamaan dan pendidikan. Semangat membangun yang telah dilakukan umat Desa Adat Wanasari harus diiringi semangat menyekolahkan dan memelihara lembaga pendidikan yang telah ada.

Kegiatan diisi dengan berbagai penampilan seni oleh siswa, termasuk tarian, menyanyi, dan hafalan. Sebagai simbol penamatan, Pembimas Hindu menyerahkan langsung surat tanda tamat belajar kepada perwakilan siswa. Acara ditutup dengan sesi foto bersama.

Turut hadir Kepala Seksi Bimas Hindu Kemenag Konawe Selatan beserta staf, penyuluh agama Hindu, Ketua PHDI Kecamatan Andoolo/Buke, serta para tokoh umat Hindu Desa Adat Wanasari.

Penulis : Kadek Yogiarta / Nang Bagia
Penelaah Teknis Kebijakan Bimas Hindu Kanwil Kemenag Provinsi Sulawesi Tenggara

Continue Reading

opini

Tragedi di Atas Jembatan: Fenomena Bunuh Diri di Jembatan Teluk Kendari

Published

on

By

Jembatan Teluk Kendari. -foto:ist-

JEMBATAN Teluk Kendari, yang membentang indah di atas teluk Kendari yang menghubungkan Kawasan Kota lama dan Poasia menjadi pendukung pengembangan pelabuhan baru Bungkutoko.

Jembatan ini dikenal sebagai destinasi baru yang dibangun sebagai simbol kemajuan yang diresmikan pada 22 Oktober 2020 oleh Presiden Joko Widodo.

Kemegahannya yang membentang panjang karena kita dapat melihat pesona Kota Kendari. Namun akhir-akhir ini pesona jembatan menghebohkan dan menjadi perhatian publik, karena secara berturut-turut menjadi tempat bunuh diri dalam waktu yang sangat berdekatan.

Jembatan teluk saat ini menyisakan luka sosial yang mendalam dan memunculkan pertanyaan besar: mengapa tempat yang begitu indah menjadi pilihan untuk melakukan bunuh diri?

Bunuh Diri di Lokasi yang Sama

Bunuh diri yang terjadi di jembatan Teluk Kendari, berdasarkan informasi sudah terjadi sebanyak 4 kali dan terakhir terjadi pada Minggu (1/6/2025) pukul 18.30 Wita. Korban adalah Muh Agil Ismail (22), seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Kendari.

Dalam psikologi, fenomena ini disebut dengan suicide hotspot tempat yang memiliki daya tarik tertentu sebagai lokasi bunuh diri.

Di banyak negara, jembatan sering kali menjadi simbol ambivalen: di satu sisi sebagai lambang penghubung kehidupan, disisi lain menjadi tempat mengakhiri hidup.

Menurut teori Efek Werther (Werther Effect) bahwa kejadian atau fenomena dimana seseorang melakukan bunuh diri setelah terinspirasi oleh kasus bunuh diri sebelumnya yang mendapat perhatian media luas.

Jika suatu tempat sudah dikenal sebagai “lokasi bunuh diri”, berita atau cerita tentangnya dapat memicu orang lain yang sedang mengalami krisis untuk melakukan hal yang sama di Lokasi yang sama.

Hal inilah yang terjadi saat ini di jembatan Teluk Kendari dan berharap menjadi yang terakhir.

Penyebab

Ada banyak faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

Beberapa di antaranya adalah;

1) masalah kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, dan stres berat;

2) Tekanan sosial dan ekonomi, seperti pengangguran, kemiskinan, atau konflik dalam keluarga atau orang terdekat;

3) Minimnya dukungan psikologis dan layanan kesehatan mental. ;

4) Efek penularan (copycat effect), dimana kasus bunuh diri yang terekspos secara luas justru memicu tindakan serupa di lokasi yang sama. Dalam konteks Jembatan Teluk Kendari, keterbukaan akses dan pemberitaan media terutama media sosial yang berantai dan cepat yang cenderung sensasional tanpa edukasi turut memperkuat efek imitasi ini.

Perspektif Hindu dan Budaya

Dalam ajaran agama Hindu yang melihat kehidupan sebagai anugerah dan kesempatan berkarma baik untuk mencapai kebahagian sejati (Moksa), maka bunuh diri adalah pelanggaran dan pengingkaran terhadap dharma.

Bunuh diri yang juga disebut ngulah pati adalah dosa besar, dan sang roh diyakini akan menghadapi konsekuensi karma yang berat, serta harus menjalani kehidupan berikutnya dalam penderitaan lebih besar.

Hal ini sangat jelas dalam salah satu sloka dalam kitab Parasara Dharmasastra yang menyatakan orang yang meninggal karena bunuh diri, maka rohnya selama 60.000 tahun akan terkurung dalam neraka yang penuh darah, nanah dan penderitaannya tiada akhir.

Secara budaya kita sangat menjunjung nilai kekeluargaan dan gotong royong dan kearifan lokal terlebih di Kota Kendari yang sangat kuat semangat mekopoaso/persatuannya, namun ironisnya, banyak individu yang merasa kesepian dan tidak mendapatkan ruang aman untuk berbicara.

Stigma terhadap orang yang mengalami gangguan mental justru membuat mereka memilih diam, dan akhirnya menyerah dan pilihannya salahs satunya melakukan bunuh diri.

Tanggapan Masyarakat

Tragedi berulang atas terjadinya bunuh diri di jembatan Teluk Kendari mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat, ada yang berempati dan perihatin ada juga yang menanggapi dengan lelucon.

Sebagai sesama yang memiliki rasa yang sama, maka sepatutnya kita berdoa sekaligus berempati kepada korban dan keluarganya dan mulai menyadari bahwa ada banyak masalah di sekeliling kita yang membutuhkan kepedulian kita bersama dan jangan menganggap remeh kondisi lingkungan kita.

Beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah antara lain atas kondisi di jembatan Teluk Kendari seperti; Pemasangan pagar pengaman atau penghalang di sisi jembatan, penyuluhan dan kampanye kesadaran publik tentang pentingnya mendeteksi tanda-tanda depresi dan keinginan bunuh diri.

Kemudian pelatihan petugas dan masyarakat sekitar agar mampu memberikan pertolongan pertama psikologis (PFA) dan Kolaborasi lintas sektor, termasuk tokoh agama, untuk membangun kesadaran spiritual dan sosial yang lebih dalam tentang pentingnya menjaga kehidupan.

Jembatan Teluk Kendari sebagaimana sejak lima tahun dikenal adalah salah satu simbol keindahan dan juga kemegahan Kota Kendari, harus tetap menjadi lambang harapan dan persatuan, bukan menjadi saksi bisu dari penderitaan yang tak terlihat.

Setiap nyawa yang hilang adalah panggilan bagi kita semua sebagai masyarakat dan pemerintah untuk lebih peka terhadap jeritan diam yang ada di sekitar kita, mencegah satu tindakan bunuh diri berarti menyelamatkan satu dunia.

Penulis : Kadek Yogiarta/ Nang Bagia
Pemerhati Masalah Sosial

Continue Reading

Trending