Rupa-rupa
Raih IPK Tertinggi, Inggit Dedikasikan Prestasinya Buat Ibu

KENDARI – Setelah menjalani aktivitas studi selama empat tahun, akhirnya Inggit Widya Ningrum berhasil mencatatkan namanya dalam daftar wisudawan/wisudawati STIKES Karya Kesehatan, tahun akademik 2017/2018, Selasa 6 NOvember 2018 di Grand Clarion Hotel Kendari.
Tak hanya itu saja, wanita berusia 22 tahun ini juga dinobatkan sebagai wisudawati terbaik, mengalahkan ratusan peserta wisuda lainnya, dengan berhasil meraih nilai IPK 3,83 (predikat pujian).
Kepada awak Bursabisnis.id, wanita kelahiran 1996 ini meyampaikan perasaan bangganya atas peraihan prestasi tersebut. Sebab, kerja kerasnya selama ini membuahkan hasil yang baik, bukanya hanya berhasil menyelesaikan studinya, tapi dirinya juga bisa menjadi wisudawati terbaik.
Apalagi, kata dia, momen membahagiakan tersebut turut disaksikan oleh ibu yang selama ini banyak memberikan support, begitu pula saudara dan sahabat-sahabatnya yang juga hari ini hadir. Olehnya itu, prestasi tersebut didekisasikan untuk sang ibu.
“Yang pasti saya sangat bahagia hari ini, karena sudah berhasil menyelesaikan studi dengan hasil yang baik pula,” ujar Inggit.
Pasca wisuda hari ini, kata wanita berhijab tersebut, dirinya tak lantas merasa puas. Bahkan, Ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi serta meningkatkan skill, agar bisa lebih siap lagi saat terjun langsung ke masyarakat.
Selain itu, wanita berkaca mata ini juga mengaku belum kepikiran untuk berburu status Aparatur Sipil Negara (ASN), seperti yang banyak dilakukan generasi muda saat ini. Inggit pun merasa termotivasi dengan arahan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), agar para sarjana yang dihasilkan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, mampu berkreasi untuk menciptakan lapangan kerja, sehingga mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mandiri.
“Yang paling terpenting adalah bagaimana nanti saya bisa mengaplikasikan ilmu yang saya dapat di bangku kuliah, dapat membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat, sehingga semuanya bisa menerapkan pola hidup yang sehat,” ungkap Inggit.
Untuk diketahui, pihak STIKES Karya Kesehatan memberikan reward terhadap enam mahasiswanya, yang berhasil meraih IPK tertinggi. Tiga diantaranya berasal dari Program Studi (Prodi) keperawatan dan tiga orang lainnya dari Prodi gizi. Adapun hadiah yang diberikan berupa bantuan beasiswa dalam bentuk tabungan. (Ikas)
opini
RPJM 2025-2029, Pemerintah Target Angka Kemiskinan Ekstrim 0 Persen

KOMITMEN kuat Presiden Prabowo terhadap isu pengentasan kemiskinan ditegaskan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Pengentasan kemiskinan menjadi salah satu fondasi utama dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Melalui Program Asta-Cita, Presiden Prabowo menempatkan pengurangan kesenjangan dan pemerataan ekonomi sebagai bagian dari tujuh prioritas strategis yang menjadi dasar arah pembangunan nasional.
Seperti tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah menargetkan angka kemiskinan ekstrem mencapai 0 persen pada 2029 dan angka kemiskinan umum ditekan hingga 4,5 persen. Target ini ambisius, mengingat per September 2024, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tercatat sebesar 24,06 juta orang atau setara 8,57 persen dari total populasi.
Meski demikian, Presiden Prabowo meyakini bahwa percepatan pengentasan kemiskinan bisa dicapai melalui program-program prioritas yang menyasar langsung akar masalah: rendahnya daya beli, ketimpangan antarwilayah, serta kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum optimal.
Bank Dunia: Garis Kemiskinan Nasional Tetap Relevan
Dalam laporan terbarunya yang dirilis pada 13 Juni 2025, Bank Dunia menegaskan bahwa garis kemiskinan nasional yang dihitung BPS tetap relevan sebagai acuan kebijakan pemerintah Indonesia. Meskipun Bank Dunia telah memperbarui standar garis kemiskinan internasional menggunakan Purchasing Power Parity (PPP) 2021, yang menempatkan garis kemiskinan Indonesia pada USD8,30 per hari atau sekitar Rp1.512.000 per bulan per orang, Bank Dunia mengakui bahwa garis kemiskinan nasional lebih tepat untuk mengukur kesejahteraan domestik.
Perbedaan ini muncul karena Bank Dunia menggunakan standar global yang memungkinkan perbandingan antarnegara, sementara BPS menyesuaikan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimal pangan dan non-pangan masyarakat Indonesia, dengan mempertimbangkan disparitas biaya hidup antarwilayah.
Sebagai ilustrasi, menurut Bank Dunia, jika mengacu pada standar global terbaru, tingkat kemiskinan Indonesia pada 2024 berada di 68,3 persen dari total populasi, atau sekitar 194,72 juta orang. Sementara berdasarkan perhitungan BPS, angka kemiskinan pada periode yang sama hanya 8,57 persen.
Bank Dunia menegaskan bahwa, “Definisi kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena digunakan untuk tujuan yang berbeda”. Garis kemiskinan nasional digunakan pemerintah untuk merancang program perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dan bantuan sosial lainnya.
Inpres 8/2025: Instruksi Terpadu untuk Pengentasan Kemiskinan
Komitmen kuat Presiden Prabowo terhadap isu pengentasan kemiskinan ditegaskan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Merujuk Inpres tersebut, pemerintah menetapkan tiga pilar strategi nasional, yakni pengurangan beban pengeluaran masyarakat: melalui program bantuan sosial, subsidi pangan, dan layanan pendidikan serta kesehatan gratis; peningkatan pendapatan masyarakat: melalui program padat karya, pemberdayaan ekonomi desa, dan dukungan UMKM; dan penghapusan kantong-kantong kemiskinan: dengan mengintervensi langsung wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi melalui pembangunan infrastruktur dasar, akses pendidikan, dan fasilitas kesehatan.
Inpres ini juga memuat sebelas program prioritas pengentasan masyarakat dari kemiskinan, antara lain:
Program Sekolah Rakyat: Meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat miskin.
Kartu Indonesia Pintar (KIP): Memastikan anak-anak dari keluarga miskin tetap bersekolah.
Program Padat Karya Desa dan Sektor Perhubungan: Menciptakan lapangan kerja langsung.
Pelatihan Vokasi dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan: Meningkatkan kompetensi kerja dan perlindungan bagi pekerja rentan.
Perhutanan Sosial: Memberikan akses kelola lahan hutan kepada masyarakat sekitar.
Program Ketahanan Pangan dan Pemenuhan Gizi: Mencegah kelaparan dan gizi buruk, khususnya bagi anak-anak dan ibu hamil.
Untuk itu, Presiden Prabowo menginstruksikan 45 kementerian/lembaga dan seluruh kepala daerah untuk melaksanakan program-program ini secara terintegrasi dan progresif, dengan target akhir 31 Desember 2029.
Di samping itu, untuk mengoordinasikan seluruh program secara efektif, pemerintah membentuk Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) melalui Peraturan Presiden Nomor 163 Tahun 2024. Mantan anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko ditunjuk sebagai Kepala BP Taskin dengan mandat penuh untuk memastikan pelaksanaan program berjalan tepat sasaran.
Dampak dari Program Makan Bergizi Gratis
Salah satu program yang mendapatkan perhatian publik adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Selain bertujuan memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah dan ibu hamil, program ini memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
Menurut Wakil Menteri Sosial (Wamensos), Agus Jabo Priyono, setidaknya sejak Februari 2025, MBG mengalirkan dana Rp6-7 miliar per desa per tahun yang mendorong aktivitas ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan daya beli masyarakat. “Ini bukan hanya soal makan gratis. Ini tentang menggerakkan ekonomi desa, menekan kemiskinan, dan menyiapkan generasi sehat menuju Indonesia Emas 2045,” jelas Agus Jabo.
Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 1.837 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) telah beroperasi hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan menyerap sebanyak 72.521 tenaga kerja.
Menurut Staf Khusus Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Bidang Komunikasi Redy Hendra Gunawan di Jakarta, Minggu (22/6/2025), hingga per 22 Juni telah beroperasional 1.837 SPPG hampir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
Pihak BGN menargetkan penambahan jumlah SPPG menjadi 7.000 unit pada bulan Agustus, dan secara bertahap mencapai 32.000 unit pada bulan November 2025.
Selain itu, BGN telah melibatkan total 72.521 tenaga kerja dalam pelaksanaan layanan SPPG. Komposisinya meliputi 1.837 kepala SPPG, 1.499 ahli gizi, 1.481 akuntan, 1.642 kepala lapangan, serta 1.525 juru masak dan 11.884 chef.
Redy Hendra Gunawan menyebutkan setidaknya terdapat 144 UMKM yang sudah bergabung menjadi mitra BGN. Terdapat pula 23 koperasi, 7 badan usaha milik desa (bumdes), 25 CV, dan 144 perusahaan yang bermitra dalam hal penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur SPPG yang dibutuhkan oleh BGN.
“Total supplier dari koperasi bumdes, UMKM, totalnya ada sekitar 4.718. Jadi, ini angka yang luar biasa, baru enam bulan berjalan, saya kira ini efek yang sangat signifikan untuk kelembagaan ekonomi lokal,” kata Redy.
Mendorong Kemandirian Penerima Bantuan
Pengentasan masyarakat dari kemiskinan tidak cukup dengan program karikatif seperti bansos. Karena itu, Kementerian Sosial juga meluncurkan strategi graduasi bagi penerima bantuan sosial. Melalui program ini, keluarga penerima manfaat didorong untuk bertransformasi dari penerima bantuan menjadi pelaku ekonomi yang produktif.
Wamensos Agus Jabo menegaskan, “Kami tidak ingin masyarakat miskin selamanya menjadi penerima bantuan. Yang mau kerja, kami siapkan lapangan pekerjaan. Yang mau usaha, kami fasilitasi akses UMKM dan koperasi.”
Salah satu langkah penting mengatasi kemiskinan adalah integrasi data sosial dan ekonomi melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), dan data kependudukan dari Dukcapil, yang bertujuan untuk meningkatkan akurasi sasaran program sosial dan ekonomi.
Dengan begitu, sistem pendataan Kemensos kini lebih tertata. Peran pemerintah daerah kini lebih besar memperbarui data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) agar bantuan sosial dan program pemberdayaan benar-benar tepat sasaran. Pemerintah daerah berkomitmen untuk terus memastikan data by name, by address agar tidak ada lagi masyarakat miskin yang terlewat. No one left behind, sesuai tujuan pembangunan millenium (MDGs).
Mengurai Akar Masalah Kemiskinan
Dari lapisan kelompok miskin, ada bagian yang paling bawah. Yakni, masyarakat yang termasuk miskin ekstrem. Kemiskinan ekstrem di Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor struktural seperti: rendahnya tingkat pendidikan; akses terbatas ke layanan kesehatan dan sanitasi; minimnya kesempatan kerja produktif, ketidaksetaraan gender dan keterbatasan akses bagi penyandang disabilitas.
Setidaknya untuk mengentaskan kemiskinan paling dasar itu sudah mulai menuai hasil positif. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan ekstrem yang didefinisikan sebagai pengeluaran di bawah Rp10.739 per hari per individu, telah menurun drastis dari 6,18 persen pada 2014 menjadi hanya 0,83 persen pada Maret 2024. Penurunan ini mencerminkan keberhasilan berbagai program pemerintah yang terintegrasi dan berfokus pada pemberdayaan masyarakat miskin serta peningkatan akses terhadap layanan dasar. Penurunan angka kemiskinan ekstrem ini juga menjadi indikator penting bahwa Indonesia makin mendekati target eliminasi kemiskinan ekstrem yang ditetapkan pemerintah untuk 2029.
Mulai tahun ini, berbagai program sosial dan ekonomi yang dijalankan pemerintah berperan besar untuk mencapai target eliminasi kemiskinan. Program bantuan sosial seperti PKH, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan subsidi listrik telah memberikan dukungan langsung kepada keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Selain itu, peningkatan akses layanan kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pembangunan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, dan jalan desa telah memperbaiki kualitas hidup masyarakat di daerah tertinggal dan terpencil.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat juga menjadi fokus utama, dengan pelatihan keterampilan, akses permodalan mikro, dan pengembangan usaha kecil menengah yang membantu meningkatkan pendapatan dan kemandirian ekonomi keluarga miskin.
Satu hal, pemerintah menekankan bahwa pengentasan kemiskinan membutuhkan gotong royong nasional. Sinergi antarkementerian, lembaga, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat adalah kunci keberhasilan.
Melalui strategi yang terintegrasi, data yang akurat, dan komitmen politik yang kuat, Indonesia optimistis dapat mengurai persoalan kemiskinan secara berkelanjutan, mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
opini
Visual Pedesterian Ex MTQ Tak Utuh Mencerminkan Kita

Oleh: Muh. Nato Alhaq
(Kaprodi Desain Komunikasi Visual UM Kendari)
Saudaraku, tulisan ini bukan untuk mengusikmu jogingmu di kawasan eks-MTQ Kendari.
Teruslah berbagi bahagia lewat foto dan statusmu. Izin membagi gelisah tentang keping wajah Kendari.
Landmark Bukan Sekadar Estetika
Landmark bukan hanya titik foto atau ruang joging sore.
Dalam arsitektur kota modern, ia adalah jantung identitas visual dan emosional warga. Kota-kota seperti Bandung atau Singapura telah membuktikan bahwa landmark yang ditata dengan visi budaya mampu menjadi ruang sosial, diplomasi kreatif, hingga simbol kebanggaan kolektif.
Simbol visual dan desain ruang kota memiliki kekuatan menyambung sejarah, emosi, dan kebanggaan kolektif. Maka, menata landmark adalah merancang ulang cara warga terlibat, cara generasi muda merayakan kotanya, dan cara dunia membaca watak sebuah kota.
Perencanaan spasial yang sensitif terhadap keragaman budaya (Healey, 1997) telah menghasilkan kerangka kerja desain inklusif, yang menekankan aksesibilitas dan dukungan terhadap kegiatan kebudayaan.
Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah bahwa ruang publik harus mencerminkan komunitas yang menggunakannya, baik dari sisi nilai maupun visualitas budaya mereka (Low, 2005; Sandercock, 2001).
Ruang publik yang demikian tidak hanya menjadi tempat bertemu, tapi juga media ekspresi dan representasi kolektif dari beragam kelompok sosial di kota.
[1] Dalam teori city branding, landmark harus berbicara—tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita ingin menuju. Ia harus merayakan nilai lokal, bukan meniru simbol kota lain tanpa konteks.
Dari Titik Nol ke Tiruan Malioboro
Dulu, kawasan MTQ dibangun sebagai penanda lahirnya Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Tugu Persatuan.
Tapi identitas itu kemudian kabur, ketika penataan visual kawasan ini mengambil inspirasi dari Malioboro Yogyakarta.
Lampu jalan berwarna hijau tua dengan sulur keemasan, kursi taman bergaya vintage, signage berpalet hijau-emas—semuanya terlalu mirip Malioboro.
Secara visual, kawasan MTQ kini terasa seperti replika ruang publik Jawa, bukan representasi Sulawesi Tenggara.
Saya menyebut ini sebagai cultural misalignment—ketika desain ruang tidak selaras dengan budaya lokal. Ketika warga sulit merasa “terwakili” oleh kotanya sendiri.
Ironi di Tengah Kantor Budaya
Yang paling menyedihkan, kawasan ini dikelilingi institusi yang justru memikul tanggung jawab menjaga budaya lokal:
Dinas Pariwisata, Museum Sultra, dan Lembaga Adat Tolaki (LAT). Tapi tepat di depan mata mereka, ruang publik utama malah dihias dengan gaya visual yang tidak mencerminkan kearifan lokal.
Apakah kita tidak punya motif sendiri? Padahal kain tenun Sultra menyimpan banyak pola visual yang kuat, kaya makna, dan khas. Desain ruang publik seharusnya mengangkat itu, bukan menggantinya dengan ornamen visual dari luar.
Jalan Keluar: Rekonstruksi Visual & Fungsi Sosial
Kini saatnya kawasan MTQ direkonstruksi, bukan hanya dari sisi estetika, tapi dari keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Beberapa arah strategis yang bisa dipertimbangkan:
Reinterpretasi Motif Lokal
Angkat motif tenun, ukiran khas, dan elemen visual Sultra ke dalam desain signage, kursi taman, pencahayaan, hingga lanskap. Ini bukan sekadar hiasan, tapi pernyataan identitas.
Zona Interaksi Terbuka
Jadikan kawasan MTQ sebagai ruang kolaboratif: tempat pertunjukan seni, skatepark, panggung budaya, atau kelas terbuka untuk komunitas muda. Biarkan anak-anak muda bermain, berekspresi, dan membangun hubungan dengan ruangnya.
Penciptaan Simbol Baru
Kita butuh ikon visual Kendari yang orisinal—entah berupa patung, maskot, atau instalasi publik yang merepresentasikan wajah kota ini yang dinamis, terbuka, tapi tetap berakar.
Menata Ulang, Bukan Menghapus
Tulisan ini bukan tentang menyalahkan siapa-siapa. Justru ini bentuk kepedulian. Landmark bukan soal bangunan megah, tapi soal makna yang dibawa dan warisan yang ingin ditinggalkan.
Kawasan MTQ bisa menjadi simbol kebudayaan Sultra yang hidup—asal kita berani melepaskan romantisme visual luar, dan mulai membangun wajah kota kita dari dalam. Dari cerita, nilai, dan motif yang benar-benar milik kita.
Tabe bang… Biarmi Malioboro tetap ada di sana. Janganmi bawa ke sini. Biar dia tetap disudut rindu kita. Seperti Bait Klaproject: Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.
Pustaka
1. Julianne Manuguid, (2024). A Negotiation of Identities: Multi-cultural public spaces to foster the search of self-identity (Master’s thesis, Victoria University of Wellington).
2. https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fsultrainformasi.id
3.https://www.intipseleb.com/gaya-hidup/47137-jalan-malioboro
Penulis : Muh. Nato Alhaq
(Kaprodi Desain Komunikasi Visual Universitas Muhamadiyah Kendari
opini
Saat Hidup Tak Lagi Terasa Ringan: Sebuah Renungan Tentang Waktu, Tanggung Jawab dan Kesadaran

DALAM kehidupan sehari-hari, sangat sering kita dihadapkan pada berbagai persoalan yang datang bersamaan dan bahkan silih berganti. Beban pekerjaan, tanggung jawab keluarga, peran sosial, dan tekanan pribadi semuanya seolah bertumpuk, memaksa kita untuk selalu tetap kuat bahkan disaat-saat kita paling rapuh sekalipun.
Tak jarang, ketika satu masalah datang, semua hal terasa ikut runtuh. Akibat dan dampaknya, pekerjaan terbengkalai, urusan keluarga terabaikan, bahkan aktivitas sosial yang dulu adalah hiburan yang sangat menyenangkan kini terasa berat.
Lebih dari itu, kita mulai digerogoti oleh rasa bersalah yang tiada akhir, perasaan tidak nyaman dihati menjelma menjadi bayang-bayang yang terus menghantui dan mengikuti.
Kita merasa gagal menjadi orang tua yang baik, pasangan yang penuh perhatian, teman yang bisa diandalkan, bahkan kadang merasa jauh dari nilai-nilai spiritual yang dulu kita yakini dan lakukan setiap waktu.
Saya tidak menulis ini sebagai seorang yang telah menemukan semua penjelasannya, namun justru sebaliknya, saya menulis sebagai seseorang yang, dalam tiga tahun terakhir, mengalami fase-fase berat dalam hidup. Fase dimana waktu terasa berlalu begitu cepat, namun pertumbuhan diri terasa jalan ditempat dengan kondisi yang sama.
Fase ketika umur bertambah, namun kedewasaan emosi dan spiritual seolah tertahan. Dalam keheningan, sering terlintas pertanyaan lirih, “sampai kapan semua ini akan berlangsung?”
Dalam jeda yang sunyi itu, saya merenung, mungkin yang kita perlukan bukanlah solusi instan, bukan pengungsi cepat.
Tapi sebuah keberanian untuk berhenti sejenak, untuk benar-benar menyadari dimana kita berada saat ini dan ke mana kita hendak melangkah.
Karena jika dibiarkan berlarut-larut, rasa bersalah itu bisa menjadi penjara yang membatasi kita dari kehidupan yang utuh dan bermakna.
Dalam ajaran Hindu, hidup adalah karma, hasil dari tindakan dan niat kita serta keyakinan itu yang menguatkan bahwa tidak ada yang terjadi tanpa sebab.
Namun karma bukan semata-mata hukuman, tetapi juga merupakan proses dan kesempatan belajar.
Bahkan dalam kesalahan dan keterpurukan sekalipun, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki, kita hanya perlu jujur pada diri sendiri dan berani mengambil langkah baru meski kecil.
Kesadaran akan waktu yang terus berjalan harus menjadi panggilan untuk bertumbuh, bukan justru menjadi tekanan yang memenjarakan.
Kita boleh lelah, tapi jangan menyerah, kita boleh jatuh, tapi jangan berhenti bangkit.
Hari ini, jika Anda merasa hidup terlalu berat, mungkin inilah saat yang tepat untuk berpikir. Bukan untuk menyesali masa lalu, tapi untuk menyambut hari-hari ke depan dengan lebih jernih.
Hidup ini terlalu berharga untuk kita jalani dalam rasa bersalah yang terus-menerus. Masih ada hari esok, masih ada kesempatan untuk menjadi lebi baih, mari mulai hari ini dengan satu niat tulus, satu langkah sadar, dan keyakinan bahwa hidup bisa lebih baik, jika kita memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dan terus berjalan, meski harus pelan tapi harus konsiten.
Penulis : Kadek Yogiarta/Nang Bagia
Pemerhati Masalah Sosial
-
ENTERTAINMENT6 years ago
Inul Vista Tawarkan Promo Karaoke Hemat Bagi Pelajar dan Mahasiswa
-
Rupa-rupa6 years ago
Dihadiri 4000 Peserta, Esku UHO dan Inklusi Keuangan OJK Sukses Digelar
-
PASAR6 years ago
Jelang HPS 2019, TPID: Harga Kebutuhan Pokok Relatif Stabil
-
Entrepreneur6 years ago
Rumah Kreatif Hj Nirna Sediakan Oleh-oleh Khas Sultra
-
Fokus6 years ago
Tenaga Pendamping BPNT Dinilai Tidak Transparan, Penerima Manfaat Bingung Saldo Nol Rupiah
-
FINANCE6 years ago
OJK Sultra Imbau Entrepreneur Muda Identifikasi Pinjol Ilegal Melalui 2L
-
Fokus3 weeks ago
Usai Harumkan Nama Wakatobi, Pelatih Atlit Peraih Medali Emas Jual Hp Untuk Ongkos Pulang
-
Entrepreneur6 years ago
Mengenal Sosok Pengusaha Syarifuddin Daeng Punna yang Pantang Menyerah Berusaha