Connect with us

PERTAMBANGAN

Polemik PHK Massal PT. SSU, Kasra Diusir dari Kabaena

Published

on

BOMBANA – Direktur PT. Surya Saga Utama (SSU), Kasra Jaru Munara dan HRD pusat, Muchlis Assegaf sebagai aktor yang mendesain Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal karyawan sebanyak 544. Hal itu diungkapkan mantan Humas PT. SSU, Simon kepada awak media saat dikonfirmasi melalui telepon selularnya.

Menurut dia, kedua nama tersebut merupakan aktor dari keluarnya keputusan PHK secara massal dari management perusahaan tersebut. Sebab, setelah mereka melakukan kajian dan penghitungan terkait jumlah biaya yang akan disiapkan, keputusan PHK dinilai tak membutuhkan anggaran yang fantastis, jika dbandingkan dengan kebijakan dirumahkan atau diistrahatkan sementara.

“Mereka berdualah ini yang menyampaikan kepada pihak Rusia, agar melakukan PHK kepada ratusan karyawan, karena biaya yang dikeluarkan tak sebanyak kalau dibandingkan dengan kebijakan merumahkan atau memberhentikan sementara para karyawan,” beber Simon, Rabu 21 November 2018.

Parahnya lagi, keputusan PHK tersebut hanya disampaikan secara lisan yang diumumkan oleh Kasra Jaru Munara sebagai Direktur. Tak hanya itu, hak-hak karyawan pasca keputusan PHK dikeluarkan pihak perusahaan juga tak direalisasikan.

Lebih lanjut, Simon menegaskan, bahwa perusahaan tidak konsisten dan terkesan tebang pilih. Sebab, Kasra yang menjabat sebagai Direktur seharusnya turut di PHK, karena status mantan calon Bupati Bombana itu juga merupakan karyawan PT. SSU.

“Anehnya, setelah mengumumkan semua karyawan di PHK, ternyata masih ada karyawan yang melakukan aktivitas atau bekerja. Ini kan tebang pilih namanya. Kemudian, seharusnya Pak Kasra juga di PHK, karena dia kan karyawan juga,” tegas Simon.

Ditambahkan, bahwa dirinya bersama sejumlah mantan karyawan lainnya yang menjadi korban PHK, tidak menerima keputusan yang terkesan tebang pilih tersebut. Olehnya itu, akan dilakukan aksi demonstrasi untuk mengusir Kasra Jaru Munara keluar dari Kabaena.

“Kami akan melakukan penolakan terhadap kebijakan ini, dan meminta Pak Kasra agar segera meninggalkan Kabaena. Kami kasih waktu satu minggu kepada mereka untuk meninggalkan Kabaena,” terangnya.

Dugaan by desain Kasra dan Muchlis atas PHK massal tersebut juga dikuatkan dengan pernyataan dari salah satu Humas PT. SSU, Musafir yang mendengar langsung pernyataan dari HRD pusat.

“Ini memang keputusan yang tidak menyenangkan, sehingga wajarlah kalau kawan-kawan protes dan tidak terima. Kalau memang mau di PHK, maka harus merata dan adil dong, mulai dari direktur dan sejumlah karyawan lainnya yang mengisi jabatan strategis juga harus dipecat, kan mereka juga berstatus karyawan,” katanya. (Ikas)

PERTAMBANGAN

Regulasi PP Minerba Belum Terbit, Pemda Kehilangan Dasar Hukum Menata Wilayah Pertambangan Rakyat

Published

on

By

Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari. -foto:dok.dpr-

JAKARTA, Bursabisnis.id – Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari menyoroti lambannya penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). UU tersebut telah diundangkan sejak 19 Maret 2025, namun hingga Oktober ini, regulasi turunannya belum juga diterbitkan.

Padahal, Ratna mengingatkan, Pasal 174 ayat (1) UU Minerba dengan tegas menyebutkan bahwa seluruh peraturan pelaksana wajib ditetapkan paling lambat enam bulan setelah pengundangan. Artinya, batas waktu penyelesaian PP jatuh pada September 2025.

Menurut Ratna, keterlambatan ini tidak bisa dianggap sekadar persoalan administratif. Ia menilai dampaknya langsung terasa, terutama terhadap kepastian hukum bagi pelaku usaha, potensi penerimaan negara, dan efektivitas implementasi kebijakan di sektor pertambangan.

“UU Minerba 2025 sudah memberi arah jelas untuk menciptakan tata kelola pertambangan yang berkeadilan, transparan, dan berpihak pada kepentingan nasional. Namun tanpa PP pelaksana, seluruh amanat dalam Pasal 17 tentang penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) tidak bisa dijalankan secara efektif,” kata Ratna di laman dpr.go.id.

Ratna juga menekankan soal belum adanya kejelasan teknis mengenai mekanisme WIUP, pembagian kewenangan pusat-daerah, dan prioritas pemberian izin bagi koperasi, UMKM, BUMD, serta ormas keagamaan yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan.

“Investor menunda ekspansi, pemerintah daerah kebingungan mengambil langkah, dan masyarakat lokal kembali menjadi korban ketidakpastian kebijakan. Ini situasi yang tidak boleh dibiarkan terlalu lama,” jelas Politisi Fraksi PKB ini.

Ratna pun turut menyoroti dampak nyata keterlambatan regulasi PP Minerba terhadap daerah penghasil tambang. Ia menyebut, hal ini membuat pemerintah daerah (Pemda) kehilangan dasar hukum untuk menata wilayah pertambangan rakyat, dan pelaku usaha kecil kesulitan mengakses perizinan yang semestinya terbuka bagi mereka.

Selain itu, Aspek lingkungan juga menjadi perhatian. Tanpa pedoman teknis yang memadai, pengawasan terhadap kegiatan pertambangan menjadi lemah, meskipun UU Minerba 2025 mengamanatkan penguatan tata kelola lingkungan serta reklamasi pascatambang.

Ratna pun menegaskan urgensi percepatan regulasi agar semangat reformasi dalam UU Minerba tidak sekadar menjadi wacana.

“Semangat pembaruan UU Minerba akan kehilangan makna bila tidak segera diikuti dengan regulasi pelaksana yang konkret. Pemerintah perlu bergerak cepat agar prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan sumber daya alam dapat diwujudkan di lapangan,” tegas Ratna.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan DPR akan menjalankan fungsi pengawasan dengan mendorong Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM) serta Kementerian Hukum untuk segera menyelesaikan penyusunan PP pelaksana

Legislator Dapil Jatim IX ini menilai lambannya penerbitan regulasi ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti amanat undang-undang.

Sumber : dpr.go.id
Laporan : Icha
Editor : Tam

Continue Reading

PERTAMBANGAN

Tim Satgas PKH Segel Tiga Lokasi Kawasan Tambang di Kolaka

Published

on

By

Tim Satgas PKH pasang plang di Kolaka. -foto:ist-

KOLAKA, Bursabisnis. id – Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melakukan tindakan tegas dengan menyegel lahan tambang milik 3 perusahaan tambang yang beroperasi dalam kawasan hutan di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Tim Satgas PKH ini turun ke Kolaka pada Kamis, 25 September 2025.

Menurut Komandan Koordinator Wilayah (Dankorwil) Satgas PKH, Kolonel Ramadhon, ke 3 perusahaan tambang yang dipasangi plang ialah PT Toshida, PT Suria Lintas Gemilang, dan Perusda Aneka Usaha Kolaka.

“Saat ini baru tiga IUP yang dipasangi plang. Namun proses verifikasi dan penindakan masih berjalan karena masih banyak di Sultra,” katanya dikutip dari laman anoatimes.com.

Lebih lanjut, Kolonel Ramadhon menjelaskan bahwa sebelumnya tiga IUP tersebut sudah menjalani verifikasi di Jakarta.

“Untuk tiga IUP ini sudah diverifikasi di Jakarta. Kami di Kolaka hanya melaksanakan pemasangan plang sebagai tindak penertiban hukum,” ujarnya.

Terkait sanksi, Kolonel Ramadhon mengungkapkan bahwa setiap pelanggaran pasti akan ada konsekuensinya. Namun, pihak yang berwenang menentukan tetap Kejaksaan Agung.

Laporan : Tam

Continue Reading

PERTAMBANGAN

Menanti Jerat Pidana Perusak Lingkungan Pulau Kabaena

Published

on

By

Laut Kabaena, yang tercemar limbah ore nikel. Gaung hilirissi nikel, menyebabkan eksploitasi nikel masif. -foto:dok.Walhi Sultra-

KENDARI, Bursabisnis.id – Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bentukan Presiden Prabowo Subianto menyegel lahan pertambangan nikel PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) yang beroperasi di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra) pada 11 September 2025.

Andi Rahman, Direktur Eksekutif Walhi Sultra mengkritik kinerja satgas yang terkesan setengah hati.

Sebab Satgas hanya melihat pelanggaran yang terjadi sebagai peluang menuntut ganti rugi dan mengabaikan aspek pidana lingkungan.

Sementara Dhany Alfalah, peneliti Satya Bumi mempertanyakan, langkah satgas yang hanya menyegel TMS.

Padahal, ada banyak perusahaan lain di Kabaena yang juga beroperasi di hutan lindung. Data Satya Bumi menyebut, setidaknya 16 perusahaan tambang nikel beroperasi di Kabaena. Penyegelan TMS dia nilai sebagai tindakan tebang pilih pemerintah.

Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), plus Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PPU-XXI/2023 melarang aktivitas tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil karena berisiko menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible).

Rangkaian sorotan tersebut dirangkum sebagaimana pemberitaan laman mongabay.co.id.

Dalam pemberigaan media ini mengulas kinerja Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bentukan Presiden Prabowo Subianto menyegel lahan pertambangan nikel PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) yang beroperasi di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra), 11 September 2025.

Satgas memasang segel plang besi di areal TMS dengan tulisan, “Areal pertambangan PT Tonia Sejahtera seluas 172,82 hektar dalam penguasaan Pemerintah Republik Indonesia c.q Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), berdasarkan Peraturan Presiden No.5/ 2025 tentang Penertiban Hutan.”

Satgas PKH melarang segala aktivitas di kawasan itu tanpa izin.

Sebagaimana dilansid dari laman Mongabay. co.id bahwa sudah berusaha mengkonfirmasi penyegelan ini ke Anang Supriatna, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepala Seksi (Kasi) Penkum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra, Rahman, pada Senin (22/9/25) tetapi tak mendapat respons.

Mengutip pemberitaan media ini di Sultra, tindakan penyegelan dipimpin Ketua Satgas PKH juga Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah.

Andi Rahman, Direktur Eksekutif Walh Sultra mengkritik kinerja satgas yang terkesan setengah hati. Dia menilai, Satgas hanya melihat pelanggaran yang terjadi sebagai peluang menuntut ganti rugi dan mengabaikan aspek pidana lingkungan.

Sebelumnya, Walhi Sultra sudah menyampaikan laporan ke Satgas PKH atau ke Kejagung terkait aktivitas pertambangan, termasuk TMS yang menyalahi aturan hingga menyebabkan negara merugi sekitar Rp200 triliun.

Rahman melihat, satgas salah satunya, bertujuan mengejar kerugian negara dari industri nikel dan perkebunan, yang ibaratkan hanya “mencari cuan.”

“Satgas ini menggunakan Undang-undang Cipta Kerja, khusus Pasal 100A dan 100B, dengan target administrasi pemutihan, bukan pidana,” katanya.

Pasal 100A mengatur tentang sertifikasi standar sebagai pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar usaha untuk melakukan kegiatan usahanya.

Pasal 100B soal sertifikat standar usaha yang pemerintah pusat atau pemerintah daerah terbitkan, berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh pelaku usaha.

Pemerintah, kata Rahman, seharusnya menggunakan dua aturan: selain mengejar kerugian dan sanksi administrasi, juga UU Kehutanan dan atau UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait tindak pidananya.

Dia khawatir upaya pemerintah yang hanya fokus menerapkan sanksi administrasi di kasus-kasus serupa akan menjadi praktik “bagi hasil terselubung” dari kegiatan ilegal. “Begitu ganti rugi dibayar, lalu dilakukan pemutihan. Ini sama artinya melegalisasi sesuatu yang sebelumnya ilegal.”

Dia contohkan skema penyelesaian di perkebunan, di mana pemutihan berarti perusahaan hanya wajib mengganti rugi, lalu mendapat izin untuk melanjutkan kegiatannya. Kalau itu yang terjadi, keberadaan satgas hanya untuk mencari uang ketimbang memulihkan lingkungan yang rusak dan menjerat pidana pelakunya.

“Pelaku usaha nakal akan diuntungkan karena tidak ada sanksi pidana yang mereka dapatkan, hanya bagi hasil,” katanya.

Rahman pun mempertanyakan langkah konkret Prabowo dalam mengejar 1.063 penambang ilegal.

Aktivitas TMS di Pulau Kabaena sarat dengan kritik karena meninggalkan jejak kerusakan yang berdampak luas secara ekologis dan sosial.

Riset oleh Walhi Sultra dan Satya Bumi menyebut, aktivitas TMS mendorong hilangnya tutupan hutan seluas 285 hektar dari total 3.374 hektar hutan di pulau ini sepanjang 2012-2022.

Bukan hanya daratan yang terdampak, limbah tambang yang mengalir ke sungai dan laut memicu pencemaran berat: logam seperti nikel dan kadmium melampaui ambang batas aman.

Air laut yang keruh dan sedimen beracun kini mengancam keberlanjutan ekosistem laut, termasuk terumbu karang yang menjadi sumber penghidupan warga.

Ancam Suku Bajo

Bagi masyarakat lokal, termasuk Suku Bajo dan Moronene, perubahan ini terasa langsung. Laut yang dulu menjadi sumber pangan utama kini makin miskin ikan, membuat nelayan kehilangan mata pencaharian.

Hasil tangkapan merosot drastis, dan banyak warga mulai mengalami masalah kesehatan seperti iritasi kulit, infeksi saluran pernapasan, hingga penyakit terkait kualitas air.

Aktivitas tambang juga menciptakan ketegangan sosial karena sebagian warga menolak operasi TMS, sementara sebagian lain bekerja di perusahaan demi bertahan hidup.

Dhany Alfalah, peneliti Satya Bumi yang menyusun dua laporan mengenai dampak penambangan nikel di Kabaena mengapresiasi langkah pemerintah menyegel aktivitas TMS. Namun, jauh lebih penting adalah tindak lanjut dari penyegelan itu.

“Memang plang itu tuh dipasang di sana, tapi pada praktiknya pekerja-pekerja itu sudah mulai masuk lagi. Manajemennya pun baru. Nah, ini perlu digali lebih dalam,” katanya kepada Mongabay.co.id.

Dia juga mempertanyakan langkah satgas yang hanya menyegel TMS. Padahal, ada banyak perusahaan lain di Kabaena yang juga beroperasi di hutan lindung.

Data Satya Bumi menyebut, setidaknya 16 perusahaan tambang nikel beroperasi di Kabaena. Penyegelan TMS dia nilai sebagai tindakan tebang pilih pemerintah.

TMS yang beroperasi di Desa Lengora Pantai, bagian timur Kabaena, dituding berkontribusi besar terhadap rusaknya lingkungan laut. Pengelolaan limbah yang buruk menyebabkan sedimentasi di laut.

Selain itu, penambangan di lintasan bukit membuat area itu rawan longsor. Pada 2021, penambangan TMS mengganggu pasokan air di sekitar Kabaena Timur, menyebabkan warga kesulitan mendapatkan air bersih.

Sanksi administrasi dianggap tidak cukup untuk TMS, mengingat perusahaan ini diduga menambang dan mengirimkan sekitar 4.000 tongkang nikel sejak awal operasinya, dengan potensi pengiriman 80 tongkang per bulan, masing-masing berisi hingga 10.000 ton.

Satya Bumi mendorong, agar kerusakan lingkungan dampak operasi TMS masuk hitungan berdasarkan kerugian ekologis dan harus pemulihan.

Bagi Satya Bumi, tidak ada alasan untuk tetap melanjutkan perizinan menambang di Kabaena yang termasuk pulau kecil. UU Nomor 27/ 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K), diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PPU-XXI/2023 melarang tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil. Karena berisiko menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible).

Sumber : mongabay.co.id

Continue Reading

Trending